Rabu, 29 Desember 2010

Sahabat Baikku

Saskia dan Peony adalah sahabat baik. Mereka selalu berbagi makanan kecil di sekolah. Juga berbagi dalam segala hal.
Suatu hari Sabtu, Saskia bangun seperti biasa. Ia minum segelas susu, makan roti, merapikan kamar, memberi makan kucing, dan membuang sampah.
Di rumahnya, Peony juga melakukan hal yang sama, pada waktu yang hampir sama. Setelah selesai bekerja, mereka ngobrol di telepon untuk merencanakan kegiatan mereka sepanjang hari itu.
Biasanya, mereka bersepeda bersama ke taman untuk bermain ayunan. Di siang hari, mereka membeli es krim. Mereka selalu saling mencicipi es krim, agar bisa membandingkan rasanya. Setelah itu, mereka pulang dan bermain boneka hingga tiba saat makan siang.
Mereka selalu makan siang bersama. Jika Sabtu ini mereka makan siang di rumah Saskia, maka minggu depannya, makan siang di rumah Peony.
Akan tetapi, pada Sabtu ini, hingga menjelang siang, Saskia masih belum menerima telepon dari Peony.
“Halo, selamat pagi. Ini dari Saskia, bisa bicara dengan Peony?”
Ternyata yang menerima telepon adalah Ricky, kakak Peony. “Oh Saskia, selamat pagi. Mencari Peony ya? Waaah, Kakak tidak yakin dia ada di rumah atau tidak. Sejak tadi pagi dia bermain dengan seseorang dan baru saja pergi membeli es krim. Mm, tunggu ya, Kakak coba panggil…”
Saskia mendengar Ricky memanggil Peony, kemudian…
“Maaf Saskia, kata Peony, dia tidak bisa menerima teleponmu hari  ini. Katanya, hari Senin saja berjumpa di sekolah.”
Saskia sedih dan terkejut mendengar hal itu. Sambil meletakkan gagang telepon, perasaan Saskia campur aduk. Rasa sedih dan terkejut perlahan-lahan berubah menjadi kecewa dan marah. “Yah, kalau memang Peony tidak mau bermain denganku, aku juga tidak paduli. Siapa yang butuh teman seperti dia?” kata Saskia dalam hati.
Sepanjang hari Sabtu itu Saskia terus-menerus menggerutu. “Lihat saja hari Senin nanti. Aku akan tunjukkan kalau aku juga tidak butuh Peony sebagai temanku.” Hingga malam menjelang, Saskia masih tetap marah-marah.
Sehabis makan malam, mama Saskia melihat sikap Saskia yang aneh. Saskia tampak murung dan tidak bernapsu makan, padahal makanan yang dihidangkan adalah kesukaan Saskia. Mama Saskia meraba dahi Saskia. Ternyata Saskia demam. Malam itu Ia harus minum obat dan cepat tidur.
Keesokan harinya, demam Saskia masih belum hilang. Saskia makan di tempat tidur dan beristirahat. Mama Saskia menemani sambil bercerita tentang indahnya persahabatan. Di akhir cerita, Saskia berkata “Aku tidak punya seorang sahabat pun! Aku hanya memiliki Peony yang tidak mau bermain denganku lagi. Aku benci Peony!” Saskia mulai menangis dan menceritakan kejadian kemarin kepada mamanya.
Mama Saskia tersenyum menenangkan, “Saskia, kamu dan Peony sudah lama berteman. Jangan marah-marah dulu. Kamu kan belum tahu, kenapa Peony tidak bisa bermain bersamamu. Coba pikirkan kebaikan Peony selama ini. Besok, berikan kesempatan pada Peony untuk menjelaskan semua itu…”
Sore harinya, bel rumah Saskia berbunyi. Ternyata Peony datang membawa sekantong apel merah kesukaan Saskia.”Sebutir apel akan mengusir penyakitmu.” Kata Peony sambil tersenyum. “Wah, aku kangen sekali padamu. Hari Jumat malam Om Han, teman ayah, datang. Rumah Om Han baru terbakar. Tidak ada yang terluka dalam kejadian itu, tetapi Om Han minta tolong ayah untuk menjaga Sari, anak Om Han. Soalnya Om Han akan membersihkan rumah dari asap dan sisa-sisa benda yang terbakar. Sari sangat sedih karena rumahnya terbakar. Aku berusaha menghiburnya seharian.
Aku tahu, kamu temanku yang baik. Kamu pasti tidak akan marah jika aku tidak bisa bermain denganmu seperti biasa.
Ups, Saskia tertegun mendengar cerita Peony. Saskia menjadi malu. Sepanjang hari dia marah-marah pada Peony. Padahal ternyata Peony memiliki alasan yang mulia, mengapa tidak bisa bermain bersama Saskia.
Saskia duduk di tempat tidurnya dan berkata, “Oh Peony, aku minta maaf. Aku telah menjadi teman yang jahat. Aku sudah berpikir jelek tentang kamu. Aku hampir tidak mau memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Maukah kau memaafkanku?”
Peony mendekati Saskia dan memeluknya. “Tentu saja aku memaafkanmu. Itulah gunanya teman. Aku mengerti kalau kamu kecewa karena aku tidak menelponmu. Cepatlah sembuh supaya kita bisa sama-sama bermain dan belajar di sekolah.
Saskia gembira sekali karena tidak jadi kehilangan sahabat yang disayanginya dan berhati mulia itu. Dalam hati Saskia berjanji akan menjaga persahabatan yang dia jalin bersama Peony selamanya.

Beruang Kecil Membangun Rumah

Musim dingin sudah hampir tiba. Beruang kecil ingin membangun sebuah rumah untuk melewati musim dingin. Ia pun pergi mencari tempat yang cocok.
Beruang kecil berjalan sampai akhirnya tiba di sebuah pohon berangan besar. Di bawah pohon itu tampak banyak buah-buah berangan ranum yang jatuh. “Aku akan membangun rumah di sini. Jika angin kencang bertiup, buah-buah berangan itu pasti berjatuhan di rumahku. Tidak perlu bersusah payah mencari makanan. Musim dingin ini akan aku lewati dengan nyaman.”
Sambil bernyanyi-nyanyi gembira, Beruang Kecil mengeluarkan peralatan kerjanya. Ia lalu mulai bekerja dengan giat. Sesaat kemudian ia merasa haus.
“Rumahku sudah selesai separuh. Sekarang aku istirahat dulu,” kata Beruang Kecil, lalu pergi mencari air.
Akan tetapi, walau sudah jauh berjalan, ia tidak menemukan air di sekitar tempat itu. “Gawat! Aku tidak bisa membangun rumah di sini. Aku harus mencari tempat dekat dengan mata air!” gumamnya.
Beruang Kecil pun pergi mencari tempat yang lain. Akhirnya ia memindahkan rumahnya yang setengah jadi ke tepi sebuah sungai.
Esok paginya, Beruang Kecil meneruskan pekerjaannya. Ketika hari beranjak siang, ia mulai merasa lapar. Beruang Kecil pergi mencari makanan. Namun ia tidak berhasil menemukan makanan apa pun. Ketika angin besar bertiup kencang, ia juga kedinginan. Beruang Kecil berpikir. “Di sini terlalu dingin dan tidak ada persediaan makanan. Kalau tetap tinggal di sini, aku bisa mati kedinginan dan kelaparan.”
Akhirnya Beruang Kecil tidak jadi membangun rumahnya di pinggir sungai. Ia pergi mencari tempat yang baru lagi.
Begitulah, Beruang Kecil pindah kesana kemari untuk membangun rumahnya. Hingga musim dingin tiba, rumahnya belum juga selesai dibangun. Ia sangat menyesal dan memutuskan kembali ke bawah pohon berangan.
Waktu tiba di sana, ia melihat Tupai telah membangun rumah di sana. Tupai juga telah menggali sebuah sumur, Beruang Kecil segera pergi ke tepi sungai. Namun di sana sudah ada Anjing Kuning. Anjing Kuning membangun tembok rumahnya dengan batu-batu besar. Tembok itu kuat menahan tiupan angin. Ia juga sudah menyiapkan banyak persediaan makanan.
Dengan menyesal Beruang Kecil berkata, “Kenapa aku tidak memikirkan cara seperti mereka itu, ya?”

Misteri Hilangnya Mas Dafi

Senja tiba. Anak-anak yang bermain di luar sudah kembali ke rumah masing-masing. Kecuali Mas Dafi. Ibu mulai gelisah. “Tia tahu tidak, Mas Dafi ke mana?” tanyanya cemas. Aku menggeleng.
“Tadi sih, katanya mau pergi ke rumah Rian. Tapi itu sudah lima jam yang lalu, Bu.”
Ibu buru-buru membuka buku telepon dan menelpon ke rumah Rian. Setelah berbicara beberapa saat, wajah Ibu tampak bertambah cemas. Ditutupnya gagang telepon perlahan. “Sudah pulang dari tadi.” Ujarnya, “Kakakmu hanya meminjam novel Rian, lalu pergi.”
“Jangan-jangan Mas Dafi di culik!” celetukku bergurau, Ibu mendelik.
“Jangan bicara sembarangan Tia!” tegurnya. “Tia cuma bercanda, Bu. Tenang saja. Mas Dafi kan gampang lapar. Kalau lapar juga, dia pulang sendiri,” kataku lagi.
Hari mulai gelap. Mas Dafi belum juga tiba di rumah. Kecemasan Ibu telah bercampur kemarahan. Dibukanya pintu lebar-lebar, siap menyambut kepulangan Mas Dafi dengan jeweran di telinga. Bapak juga mulai menggerutu, “Anak itu bikin cemas orang tua saja!”
Ibu mulai menyusun daftar teman-teman Mas Dafi, dan menelponnya satu demi satu. Tetapi tidak ada yang tahu di mana ia berada. Diam-diam kecemasan Bapak dan Ibu menular padaku. Jangan-jangan Mas Dafi benar-benar diculik. Sebentar lagi aka nada telepon dari penculik yang berkata, “Selamat malam! Jangan khawatir, anak anda selamat jika anda menyiapkan satu milyar rupiah!” Ah! Itu sih keterlaluan. Mana mungkin Bapak dan Ibu punya uang sebanyak itu?”
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Hatiku sedih sekali. Betapa malangnya nasib Mas Dafi. Sedang apa dia sekarang ya?
“Kita telepon polisi saja, Pak.” Usul Ibu tiba-tiba.
“Ah Ibu, kita tunggu saja dulu. Kalau satu jam lagi dia tidak pulang, nanti Bapak yang cari,” kata Bapak.
Satu jam pun berlalu. Mas Dafi belum juga pulang. Ibu mulai terisak-isak. Aku semakin cemas. “Ibu jangan nangis dulu. Mas Dafi pasti pulang sebentar lagi,” rangkulku.
Bapak mengenakan sweaternya. Lalu menuju gudang untuk mengambil senter. Kreaaak… terdengar bunyi engsel pintu gudang yang dibuka Bapak. Tiba-tiba, terdengar teriakan Bapak. Aku dan Ibu berlari kaget menuju gudang. Astaga! Tampak Mas Dafi tidur telentang dengan buku menutupi wajahnya.
“Dafii!” teriak Ibu gemas sambil menjewer telinganya keras-keras. Kasihan Mas Dafi. Dia bangun dengan wajah bingung sambil berteriak-teriak kesakitan. Andai saja Mas Dafi tahu, kecemasan yang terjadi selama dia tertidur di gudang.

Si Jahil Dijawil

Ema mengerutkan kening ketika tiba-tiba Nita menyodorkan sebuah bingkisan padanya pagi itu. “Eh, aku enggak ulang tahun, kok!” katanya heran.
“Memberi hadiah boleh kapan saja, kan? Tidak harus nunggu ulang tahun dulu,” sahut Nita yang tampak gelisah.
Ema jadi curiga. Benar saja, kotak itu ternyata berisi tikus! Untung ia tidak takut pada hewan kecil itu. Namun Ema berpura-pura menjerit ngeri. “Waaa… tikus!”
Nita yang berdiri di depannya ikut memekik panik. Teman-teman sampai ketakutan dan berhamburan keluar kelas. Nita juga mau melarikan diri, tapi Ema memegangi ujung seragamnya. “Tolong… bajuku dicapit tikus…” teriak Nita hilang akal. Tikus kan tidak punya capit!
Ema jadi bingung, kenapa Nita ikut-ikutan ketakutan. Padahal ‘kan hadiah itu dari dia. “Nita, kenapa kamu jadi jahil begini?” tegur Ema kemudian.
“A-aku…” Nita gelagapan. Ia pun bercerita kalau sebenarnya kado jahil itu bukan buatnya. Nita menemukannya di laci meja. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat hadiah iseng.
“Pasti ada anak yang menjahiliku,” ujarnya kesal.
“Lalu kenapa kamu berikan padaku?” protes Ema jengkel.
“Maaf,” sesal Nita. “Maksudku, mau minta bantuanmu untuk mencari tahu siapa pelakunya.”
Ema langsung tersenyum penuh arti. Ia merasa menjadi detektif yang baru saja mendapat kasus menarik. “Baiklah,” ucap Ema kemudian.
Esoknya, pagi-pagi sekali Ema sudah berada di sekolah. Ia mengintai dari balik kaca jendela di belakang kelas, menunggu si anak jahil beraksi.
“Ema?”
Ema hampir berteriak kaget karena ada yang menjawil pundaknya. Ternyata Pak Sarip, tukang kebun sekolah.
“Ada apa pagi-pagi begini sudah datang?” tanyanya sembari ikut melongok ke dalam kelas. Pak Sarip tidak sadar kalau jawilannya telah membuat Ema terkejut.
“Emm… nunggu teman, Pak,” ujar Ema setelah hilang kagetnya.
Dahi Pak Sarip berkerut. “Tapia pa kamu tidak kepagian? Jam masuk sekolah kan masih lama,” ucapnya heran.
“Ups… kepagian ya?” desis Ema malu. Pagi itu memang tidak ada anak yang bersikap mencurigakan.
Di hari berikutnya, Ema sudah merubah siasat. Ia menunggu anak yang pulang paling akhir. Kali ini Ema meminta Nita menemaninya. Benar dugaannya. Beberapa saat setelah kelas sepi, mereka melihat si pelaku jahil kembali beraksi. Raka! Anak itu sedang meletakkan cicak mati di kolong meja Nita.
“Grrr… akan kubalas perbuatan Raka padaku selama ini. Tunggu saja!” ancam Nita marah.
“Jangan!” cegah Ema. “Kalau kamu balas berbuat jahil, berarti kamu sama saja dengan Raka,” cegah Ema. “Lagipula, kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan juga, kapan masalahnya akan selesai? Apa kamu mau selamanya tidak tenang belajar?”
Nita menghela napas. “Lalu bagaimana, dong?
Ema meminta Nita bersabar. Ia akan mengawasi ulah Raka lebih lanjut. Ternyata, Raka juga menjahili teman-teman lain. Sudah banyak yang menjadi korban. Ema berusaha mencari cara untuk menyadarkan Raka. Tentu saja tanpa kekerasan.
“Kalau tidak boleh membalas dengan kekerasan, kita harus berbuat apa, dong?” Tanya Nita tidak sabar.
Ema menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba berpikir, “Ah Pak Sarip!” serunya tiba-tiba.
“Kita minta tolong Pak Sarip saja, untuk menegur Raka?” Tanya Nita.
“Bukan,” ralat Ema. Lalu ia membisikkan kebiasaan Pak Sarip saat menyapa anak-anak dari belakang.
Awalnya Nita tampak takut-takut. Namun Ema terus memberi semangat. Akhirnya Nita mau beraksi. Suatu siang, ia mengembalikan kado jahil dari Raka sambil menjawil lengan Raka. Lalu melangkah pergi tanpa bicara apa-apa.
“Eh!” Raka memekik kaget. “Apa-apaan ini?”
Nita mengkerut takut melihat Raka membelalak dan membentak galak.
Namun tiba-tiba beberapa teman melakukan hal yang sama seperti Nita. Mereka semua menjawil tubuh Raka. Ada yang menjawil tangannya, perut, telinganya… Raka sampai terdesak.
Rupanya Ema sudah minta pada semua temannya untuk membantu Nita menjawil Raka. Saat itu, Raka hanya bingung, tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi semua anak hanya menjawilnya tanpa bicara apapun.
Suatu hari, Raka berbuat jahil lagi. Semua anak dengan berani membalas dengan menjawil tubuh Raka. Bahkan mereka kelewat bersemangat sampai Raka kegelian dan kesakitan.
“Aduh…. Tolong hentikan!” pekik Raka kewalahan. “Ampun… ampun, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Aku akan berhenti berbuat jahil.”
“Benar?” seru seisi kelas kompak.
“Iya. Janji!” jawab Raka sambil mengangkat telapak tangan kanannya.
Ema tersenyum senang melihatnya. Jawilan ternyata bisa menghentikan kejahilan si Raka. Masalah selesai dengan damai.

Nilnil, Balerina Terkenal

Nilnil adalah seekor kudanil kecil di kebun binatang Kota Bunga. Bermacam-macam hewan tinggal di sana. Keluarga Leher panjang, Keluarga Belalaikuat, juga ada Pak Suraipanjang, walikota kebun binatang!
Di gedung kesenian Kota Bunga, pernah ada pertunjukan tari balet. Para penari di panggung merentangkan tangan mereka seperti sayap. Lalu melompat tinggi seperti terbang. Sungguh mengagumkan! Upik si Burung Gereja menonton dari celah atap. Pulang dari pertunjukan, ia menceritakan pada Nilnil. Nilnil sangat tertarik. Ia memutuskan untuk menjadi balerina bila sudah besar nanti.
Suatu hari, Nilnil sangat bersemangat. Hari itu ia berulang tahun. Ibunya memberinya hadiah tutu putih. Itu baju balet yang sangat indah. Sepatunya terbuat dari satin putih yang lembut. Nilnil tersenyum membayangkan dirinya menjadi prima balerina di opera Danau Angsa. Oo, tubuhku jadi seringan bulu. Aku bisa terbang setinggi si Upik! Lamun Nilnil. Keesokan harinya, seluruh penghuni kebun binatang terbangun. Mereka mendengar bunyi, “Gedebum! Gedebum!” Tanah pun bergetar. Bu Aya melompat ke luar air dan memanjat dinding. Mereka mengira ada gempa bumi. Jeri, anak paling tinggi di Keluarga Leherpanjang, menjulurkan kepala mencari sumber suara itu.
Di halaman rumah Bu Kudnil, tampak Nilnil memakai tutu dan sepatu satinnya. Ia sedang berlatih gerakan-gerakan balet. Ia mencoba jete setinggi mungkin. Namun karena tubuhnya memang besar dan berat… astaga, ia langsung jatuh dengan suara berdebum.
“Tak apa,” Nilnil menghibur dirinya sendiri, “Kalau mau jadi balerina, aku harus terus berusaha.” Ia mencoba sebuah attitude, namun ia malah kehilangan keseimbangan dan terguling ke belakang.
Hari-hari berikutnya, kebun binatang dipenuhi suara “gedebum” serta gempa-gempa kecil. Penduduk kebun binatang mengeluh pada Pak Suraipanjang. Namun Pak Suraipanjang tidak ingin melarang Nilnil berlatih.
Pak Suraipanjang teringat, sewaktu kecil ia pernah bercita-cita menjadi pilot pesawat terbang. Tiap hari ia bermain dengan pesawat mainannya. Suatu hari pesawatnya nyangkut di pohon tetangganya, Kek Rimau yang galak. Ia sangat sedih ketika Kek Rimau melarangnya bermain pesawat. Pak Suraipanjang tak ingin Nilnil sedih seperti dia dulu.
Pada suatu pagi, suasana di kebun binatang sangat tenang. Padahal warga sudah mulai terbiasa mendengar bunyi “gedebum-gedebum” Jeri Leherpanjang menjulurkan kepala ke halaman rumah Bu Kudnil.
Ada Nilnil di sana. Ia memakai baju hangat dan celana jeans, bukan kostum balerina. Ia juga menangis tersedu-sedu! “Ibu, aku tidak akan bisa jadi balerina… aku tidak bisa melompat dan terbang seringan bulu,” isaknya sedih pada Bu Kudnil.
Jeri Leherpanjang merasa kasihan pada Nilnil. Ia menceritakan hal itu pada seluruh warga kebun binatang. Bersama-sama mereka mencari cara untuk menolong Nilnil.
“Kita harus memberinya pesawat mainan, agar bisa terbang seringan bulu,” ujar Pak Suraipanjang, teringat masa kecilnya.
“Yang dia perlukan adalah guru yang baik. Biar aku yang mengajarinya melompat,” usul Pak Kutuloncat.
Ketika sedang sibuk berunding, datanglah Pak Monki Monyet. Mendengar cerita mereka, Pak Monki juga ingin membantu.
“Dulu waktu masih muda, aku ikut rombongan sirkus yang menampilkan atraksi trampolin. Orang melompat-lompat di atasnya…”
“Wah, gagasan yang hebat!” seru Bu Leherpanjang gembira. “Sebuah trampolin! Ayo kita buatkan trampolin yang kuat untuk Nilnil!”
Seluruh warga kebun binatang pun bekerja dengan gembira, membuat trampolin. Ada yang memotong kayu untuk kerangkanya, menjahit kulit lentur untuk tempat melompat, dan menjalin tali-temali dari kulit paling kuat. Tak lama kemudian jadilah sebuah trampolin yang sangat kokoh dan bagus.
Upik, burung gereja sahabat Nilnil, menyampaikan berita ini pada Nilnil. Saat itu Nilnil sedang melamun di depan rumahnya.
“Hei, Nilnil! Jangan sedih lagi!” seru Upik sambil terbang mendekat. “Kamu harus mencoba menari di atas panggung! Kami sudah membuatkanmu panggung yang hebat. Ayo, pakai kostummu dan ikut aku!”
Nilnil sangat gembira. Dengan bantuan Bu Kudnil, Nilnil tergesa mengenakan tutu dan sepatu satinnya. Mereka berdua berlari mengikuti si Upik ke sebuah lapangan terbuka. Di sana tampak sebuah trampolin yang sangat besar. Seluruh warga kebun binatang telah menunggu, tersenyum ceria.
Ragu-ragu, Nilnil memanjat naik ke atas trampolin dan mulai melompat. Wah! Ya ampun! Semua hewan terpana. Untuk pertama kalinya mereka melihat seekor anak kudanil melakukan jete setinggi burung yang terbang. Tubuhnya ringan bagai bulu. Kostumnya melambai-lambai indah sekali! Jeri Leherpanjang, Iga Belalaikuat, dan Upik bertepuk tangan paling keras!
Sejak saat itu Nilnil dikenal di seluruh kebun binatang sebagai balerina hebat. Semua hewan di kebun binatang kembali hidup damai dan bahagia.

Keputusan Yang Adil

“Ini punyaku!”
“Punyaku!”
“Pokoknya punyaku!”
“Tidak… tidak… ini punyaku!”
Perdebatan yang nyaring ini menarik perhatian Indra yang baru pulang dari belajar kelompok untuk persiapan Ujian Akhir Nasional. Dilihatnya Yosi dan Johan saling berhadapan dengan wajah tegang.
“Hei, hei, ada apa ini?” Tanya Indra.
“Eh, Kak Indra! Kak, tadi Yosi menemukan anak anjing ini. Yosi mau memeliharanya. Tapi kata Johan, anjing ini punyanya!” kata Yosi. Ia menunjuk ke anjing putih yang meringkuk dalam kotak di dekat mereka. Sepertinya anjing itu dibuang pemiliknya.
“Kak, anak anjing ini, kan, ditaruh di depan rumah Johan. Mungkin anjing ini memang dikirim buat Johan!” Johan menerangkan.
“Bukan di depan rumah, tapi di luar pagar rumah! Pasti bukan dikirim buat kamu! Iya kan, Kak?” kata Yosi sambil memandangi Indra.
Indra memegang dagu, memandang ketiganya. Yosi, Johan, dan anjing kecil putih yang mereka perebutkan. Otaknya berputar mencari jalan keluar.
“Hm… anjing ini ditemukan di depan rumah Johan. Tapi Yosi yang pertama kali menemukannya. Mmm, begini saja, kalian bergiliran memelihara anjing ini selama satu minggu. Setelah itu kita lihat, siapa yang paling berhak memeliharanya. Setuju?”
Yosi dan Johan berpandangan, lalu mengangguk tanda setuju.
“Sekarang Johan boleh memelihara anak anjing ini. Minggu depan Kak Indra dan Yosi akan datang menjemputnya. Dua minggu lagi kita ambil keputusan!” kata Indra tegas.
Dua minggu kemudian mereka berkumpul di rumah Yosi. Anak anjing itu menyalak menyambut kedatangan Johan dan Indra.
“Baiklah, sekarang Kak Indra punya beberapa pertanyaan. Jawaban kalian menentukan siapa yang akan memelihara anjing putih ini.”
Johan dan Yosi mengangguk bersamaan.
“Pertama, apa makanan yang disukai si kecil ini?”
“Biskuit!” jawab Yosi yakin.
“Daging!” jawab Johan tak kalah yakinnya.
“Yang kedua, apa yang terjadi kalau anak anjing ini melihat rantai?”
“Lari!” jawab Johan.
“Menggonggong dan ekornya bergoyang-goyang!” jawab Yosi.
“Baiklah, sekarang yang terakhir,” kata Indra sambil mengangkat anjing kecil itu ke pangkuannya lalu mengelus punggungnya, “Tadi Kak Indra lihat, ada bercak cokelat di badan anak anjing ini. Ayo, di mana letak bercak cokelat itu?”
Keduanya terdiam sejenak. Mereka sama-sama tidak tahu.
“Di perut…” kata Johan agak ragu, mencoba menebak.
Yosi menggelengkan kepala, “Yosi tidak tahu, Kak. Yosi tidak pernah melihat ada bercak cokelat!”
“Hm, baiklah. Sekarang kita buktikan jawaban-jawaban kalian. Nah, Yosi, apa kamu punya daging dan biskuit?”
Yosi mengangguk lalu masuk ke dalam. Ia muncul lagi membawa sekerat daging ayam dan sepotong biskuit. Indra melepas si putih. Anjing itu langsung mengendus dan menggigiti daging ayam yang tersedia.
“Yes! Terbukti kan jawaban Johan!” teriak Johan girang. Tetapi ia bingung ketika si anjing putih juga melahap biskuit di sebelahnya.
“Nilai kalian sama!” ujar Indra, “Nah, sekarang jawaban kedua! Kak Indra mau tanya dulu, alasan jawaban kalian!”
“Oh, soal rantai, ya. Iya, anjing ini pasti lari kalau melihat rantai, karena takut diikat. Iya, kan? Tapi Johan tidak pernah mengikatnya. Dia bisa lari bebas di halaman rumah. Johan kan sayang dia!” Johan menjelaskan jawabannya.
“Yosi?”
“Dia biasanya menggonggong dan menggoyangkan ekor kalau Yosi bawa rantai. Mungkin dia tahu, itu tandanya dia akan dibawa jalan-jalan!” jawab Yosi.
Indra mengangguk-angguk lalu mengeluarkan rantai dari sakunya. Benar saja, anjing itu langsung menggonggong senang dan mengibas-ibaskan ekornya dengan cepat. Yosi tersenyum lebar. 1-0. Johan langsung cemberut. Namun masih ada satu kesempatan. Tadi Yosi tidak menjawab pertanyaan terakhir! Mudah-mudahan tebakanku benar, pikir Johan.
“Hmm… tampaknya Yosilah yang berhak memelihara anjing kecil ini!” kata Indra memutuskan.
“Lo, pertanyaan terakhir kan belum dibuktikan, Kak! protes Johan.
“Tidak perlu!” jawab Indra. “Sebenarnya bercak cokelat itu tidak ada! Nah, Yosi, kamu tahu dari mana?”
“Kemarin Yosi memandikannya. Jadi kalau ada bercak cokelat, pasti kelihatan, kan?” jawab Yosi.
“Sudah jelas sekarang. Johan, memelihara binatang itu bukan cuma diberi makan dan diajak bermain. Tetapi harus dirawat sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Kamu tidak kecewa, kan, kalau anjing ini dipelihara Yosi?”
Johan terdiam sejenak, lalu mengangguk.
“Tapi… kalau aku ke sini, boleh kan main-main dengannya?” Tanya Johan.
“Oh, tentu saja! Snow White juga pasti akan senang!” jawab Yosi sambil memangku anjing yang sudah diberinya nama itu. Snow White menyalak girang. Yosi lalu menyodorkan pada Johan, yang langsung mengelusnya dengan sayang.
Indra tersenyum lega. Ia telah membuat keputusan yang adil untuk kedua adik sepupu yang sama-sama disayanginya itu.

Sabtu, 25 Desember 2010

Hari Sial Sang Raja Sulap

Signor Magilo adalah seorang pesulap. Namanya sangat termashur di seluruh Eropa. Ia ahli untuk melepaskan diri dari segala macam ikatan dan kurungan.
Suatu hari, rombongan Signor mengadakan pertunjukan di sebuah daerah di Kota Venesia. Para penonton penuh sesak memadati ruang pertunjukan yang tidak begitu besar. Berbagai tontonan telah dipertunjukkan oleh Signor dan rekan-rekannya. Kini tibalah acara yang paling menarik.
Signor Magilo meminta seorang penonton naik ke panggung untuk menguji sendiri keahliannya. Sampai saat ini, tak seorang pun yang berhasil mengalahkannya.
Pembawa acara menawarkan sebuah sayembara.
“Para hadirin sekalian, Signor Magilo menantang salah seorang di antara kalian untuk mengikat tubuhnya erat-erat. Kemudian silakan masukkan Signor Magilo ke dalam peti dan kunci dari luar. Anak kunci dipegang oleh si pengunci. Sebelum itu, penonton boleh memeriksa apakah Signor Magilo memiliki kunci tiruan yang ia sembunyikan di antara pakaiannya. Kami beri waktu lima menit. Jika sang Signor tidak bisa keluar dari peti dalam jangka waktu itu, kami mengaku kalah.”
Suasana sepi mencekam. Tak seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya untuk menerima tantangan itu. Sampai saat itu, belum ada orang yang berhasil mengikat atau mengurung raja sulap itu, tanpa ia bisa membebaskan diri kembali.
Para penonton merasa tak yakin, apakah mereka bisa menerima tantangan itu? Namun akhirnya seorang anak muda naik ke panggung.
Signor Magilo menyediakan tangan dan kakinya untuk diikat. Setelah diikat erat, dua orang temannya menggotong dan memasukkannya ke dalam sebuah peti besar. Kemudian anak muda itu mendekati peti besar itu dan menguncinya. Kunci lalu ia cabut kembali.
Peti besar itu lalu diselimuti kain lebar. Selanjutnya pembawa acara memukul gong kecil, tanda hitungan dimulai.
Detik demi detik berlalu, menit demi menit berganti, dan pembawa acara tersenyum-senyum ke arah penonton. Namun kemudian senyumnya memudar ketika detik-detik berjalan menuju menit kelima. Oh, kenapa sang Raja Sulap belum muncul juga? Apakah ia sengaja menunggu hingga menjelang detik terakhir? Namun saat waktu lima menit yang dijanjikan habis, dan gong dibunyikan, Signor belum juga berhasil keluar dari dalam peti itu.
Itulah saat pertama kalinya sang Raja Sulap tidak berhasil membebaskan diri dari kurungan! Peti besar itu dibuka kembali oleh anak muda tersebut. Barulah raja sulap itu keluar dengan tangan dan kaki bebas dari ikatan. Namun demikian, ia kalah, sebab tidak berhasil keluar dari peti dalam waktu yang dijanjikan.
Muka Signor kelihatan kecut sesaat. Namun tiba-tiba ia tersenyum. Ditepuk-tepuknya pundak anak muda itu, lalu ia berkata. “Nah, para hadirin sekalian… setelah ratusan kali saya mengadakan sayembara seperti ini, baru sekarang saya kalah. Anak muda ini telah berhasil membuat saya tidak bisa keluar dari dalam peti. Selamat memenangkan sayembara!”
Pembawa acara kemudian menyerahkan setumpuk uang kertas dan menjabat tangan anak muda itu. “Selamat,” ucapnya singkat.
Sebelum anak muda itu turun dari panggung, Signor menariknya ke pojok panggung. Ia pun berbisik, “Nak, bagaimana cara kamu mengunci peti itu?”
Dengan berbisik pula anak muda itu menjawab, “Terus terang, Tuan, rahasia ini saya temukan secara tidak sengaja. Suatu hari saya mencoba membuka pintu rumah, namun tidak bisa. Anak kunci saya putar-putar. Tetapi saya akhirnya tahu, kalau pintu itu sebenarnya tidak dikunci…”
“Jadi?” potong Signor.
Si anak muda tersenyum lebar.
“Ya, seperti pintu rumah saya, peti itu tidak saya kunci,” katanya sebelum meninggalkan Signor Magilo yang termangu-mangu.

Minggu, 19 Desember 2010

Kambing Emas dan Si Bungsu

                Di sebuah dusun, hiduplah seorang ayah dengan tiga putranya. Suatu hari sang Ayah jatuh sakit. Ia lalu memanggil ketiga anaknya untuk menyampaikan warisannya.
Kepada Si Sulung dan Si Tengah, ia mewariskan sebidang tanah yang luas. Namun untuk Si Bungsu, ia hanya meninggalkan seekor anak kambing yang baru berumur beberapa minggu.
“Bungsu, rawatlah anak kambing ini baik-baik. Pesanku, apa pun yang terjadi, kau tidak boleh menjualnya! Hidup rukunlah kalian bertiga…” Selesai menyampaikan pesannya, meninggallah sang ayah.
Si Sulung dan Si Tengah merasa gembira mendapat warisan sebidang tanah subur yang luas. Mereka tidak menghiraukan adiknya yang hanya mendapat warisan seekor anak kambing. Walaupun dalam hati bertanya-tanya, Si Bungsu tetap berusaha memelihara anak kambing tersebut dengan baik.
Hari berganti hari. Tidak terasa dua tahun berlalu sudah. Anak kambing itu tumbuh menjadi seekor kambing jantan yang sehat dan gemuk. Yang mengherankan, bulu kambing tersebut berubah menjadi keemasan. Tetapi sayangnya, Si Bungsu ternyata buta warna. Ia tidak bisa membedakan yang mana kambing emas itu berada di antara kambing-kambing yang lain. Meskipun demikian, ia bisa mengenal suara dan bau kambingnya.
Kedua saudaranya merasa iri melihat keberuntungan Si Bungsu. Dengan berbagai cara Mereka berusaha mengambil dan memiliki kambing emas itu.
“Bungsu, bagaimana kalau kambingmu aku beli dengan harga tinggi?” Tanya Si Sulung.
“Tidak, Kak, maaf. Sesuai pesan Ayah, aku tidak akan menjualnya.” Jawab Si Bungsu.
“Lima juta, aku bayar tunai!” Sulung memaksa.
“Tetap tidak. Kemarin ada yang menawar sepuluh juta pun tak kuberikan!” tolak Bungsu.
“Bagaimana kalau kutukar dengan sebidang tanah?” tawar Si Tengah tak mau kalah.
“Tidak, Kak, aku tidak akan mengecewakan mendiang Ayah.”
Si Sulung dan Si Tengah geram dan marah mendengar jawaban Bungsu. Mereka berusaha mencari akal dengan menggunakan kelemahan Si Bungsu.
“Kak, bagaimana kalau kambing emas itu kita tukar dengan kambing lain? Bungsu ‘kan, tidak bisa membedakan mana kambing miliknya!” usul Si Tengah.
“Usul yang bagus! Kalau hari gelap kita jalankan rencana ini.”
Petang harinya, keduanya benar-benar menjalankan rencana itu. Ketika Mereka telah berhasil memasukkan seekor kambing putih dan mengeluarkan kambing emas dari kandangnya, tiba-tiba kambing emas mengembik, “Mbeek…”
Mendengar kambingnya mengembik, Bungsu bergegas ke kandang. Ia heran melihat kedua kakaknya malam-malam ada di situ.
“Lo, ada apa, Kak? Malam-malam kok ada di sini? Kambingku mau dibawa ke mana?”
“Ini bukan kambingmu! Tuh, kambingmu ada di kandang!” tunjuk si Sulung.
“Tidak, ini kambingku, aku hapal suaranya!”
Mereka bertiga bertengkar. Akhirnya Bungsu berkata, “Bagaimana kalau kita menghadap Raja untuk mencari keadilan dan kebenaran?”
“Baik, kalau itu maumu!” sahut kedua kakaknya serempak.
Mereka bertiga berangkat ke istana. Sesampainya di istana, Bungsu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Bungsu, kau akan mendapatkan kambing emasmu kembali, jika kau benar-benar bisa membedakan mana kambingmu dari kedua kambing ini. Tapi jika gagal kau akan dihukum. Sebaliknya, jika Bungsu berhasil, Sulung dan Tengah harus menyerahkan seluruh hartanya pada Si Bungsu, karena telah berusaha untuk menipu saudara sendiri! Bagaimana, kalian setuju?” Tanya Raja.
“Baik, Paduka!” Sulung dan Tengah bersorak dalam hati. Mereka pikir Si Bungsu tidak akan berhasil membedakan kedua kambing tersebut.
“Paduka, hamba memang tidak bisa membedakan warna kedua kambing ini. Tapi hamba hapal suara dan bau kambing hamba,” sembah Si Bungsu.
“Kalau begitu coba tunjuk yang mana kambingmu!” perintah Sang Raja.
Bungsu berjalan menghampiri kedua kambing tersebut, dibauinya satu persatu. Ia lalu berseru, “Cantik… cantik… perdengarkan suaramu!”
Mendengar namanya dipanggil Si Bungsu, kambing emas itu pun mengembik, “Mbeeek… mbeeek…”
“Nah, yang ini kambing hamba, Paduka,” kata Si Bungsu sambil memegang kambingnya.
Sesuai janji, Raja memberikan kambing emas itu pada Si Bungsu. Ia juga memerintahkan Si Sulung dan Si Tengah untuk menyerahkan seluruh hartanya pada Si Bungsu.

Induk Serigala

                Di sebuah hutan, hiduplah seekor induk serigala bersama anaknya. Induk ini sangat memanjakan anaknya. Ia selalu mencarikan makanan untuk anaknya, walau anaknya sudah besar.
Suatu hari, induk serigala itu jatuh sakit. Ia berkata pada anaknya, “Nak, persediaan makanan kita habis. Pergilah mencari mangsa. Ibu tak kuat lagi…”
Anak serigala yang malas ini mengira ibunya sudah tak sayang lagi padanya. “Ibu pasti ingin mengusirku…” pikirnya. Ia lalu pergi tak tentu arah. Hatinya sedih karena tak ada lagi ibu yang melindunginya.
Suatu pagi ia melihat matahari bersinar terang. Anak serigala menyapa Matahari dengan kagum, “Matahari maukah kamu menjadi indukku?”
“Kenapa kau ingin jadi anakku?” Tanya Matahari.
“Karena kau gagah. Sinarmu menyinari dunia!” jawab anak serigala.
“Tidak selamanya aku gagah. Kalau ada Awan menutupiku, sinarku tak mampu lagi menerangi alam,” jawab Matahari.
Anak serigala bergegas menemui Awan. “Hai Awan, maukah kau menjadi indukku? Kau hebat karena bisa menghalangi matahari!” kata anak serigala.
“Aku tidak selalu kuat, Nak! Ada Angin yang bisa meniupku ke arah manapun ia suka!” jawab Awan. Anak serigala pun segera menemui Angin.
“Angin, jadikanlah aku anakmu! Kau lebih hebat dari Awan!” pintanya.
“Tidak selamanya aku hebat, Nak! Bukit bisa menghalangiku. Biarpun aku bertiup kencang, aku harus berbelok arah kalau ada Bukit!” ujar Angin.
Meski mulai merasa lelah, anak serigala berjalan menemui Bukit. Ia juga meminta Bukit untuk menjadi induknya dan melindunginya.
“Tidak selamanya aku perkasa dan kokoh. Tubuhku sering terluka oleh manusia yang suka menebangi pohon-pohonku,” keluh Bukit.
Dengan hampir putus asa, serigala menemui seorang ibu penduduk desa. Ketika melihat anak serigala datang, ibu itu sangat ketakutan. “Mau apa kau datang ke sini, serigala?” Tanya ibu itu sambil memeluk anaknya.
“Maukah kau menjadi indukku? Aku perlu induk yang kuat, yang bisa mengalahkan bukit…” pinta anak serigala.
“Tidak selamanya manusia kuat. Kami selalu ketakutan kalau induk serigala datang. Baru beberapa hari ini anak-anak kami bisa bermain bebas, karena induk serigala sedang sakit keras. Ia tidak bisa lagi mencari makan dan kabarnya… anaknya telah meninggalkannya,” kata ibu itu.
Anak serigala tersentak sadar. “Oh, ibuku sedang menderita. Aku harus pulang dan merawatnya. Aku tidak boleh malas lagi.” Anak serigala segera berlari ke hutan, kembali ke sarang ibunya.

Tetangga Baru Malvin

                Sejak kedatangan tetangga baru, Malvin dijauhi teman-temannya. Angga, Rudi, dan Karim tak mau lagi bermain ke rumah Malvin.
Nenek Ratih, nama tetangga baru itu. Rumahnya berdekatan dengan rumah Malvin. Ia tinggal sendiri. Ia membuka warung jamu di depan rumahnya.
Pada suatu sore, Malvin berpapasan dengan Angga dan Karim. Mereka hendak bermain bola di lapangan.
“Rim, aku ikut main bola ya?” bujuk Malvin.
“Mm. Aku sih setuju. Tapi…”
“Jangan Rim!” Angga menolak.
“Lo, kenapa?” tanya Malvin.
”Kamu ‘kan tetangganya nenek sihir. Nanti aku dan Karim disihir lagi!” kata Angga. Lalu mereka berdua bergegas menuju lapangan bola.
“Apa betul Nenek Ratih itu nenek sihir, sehingga teman-teman menjauhi aku?” Pikir Malvin.
Keesokan harinya, tanpa sengaja Malvin mendengar obrolan teman-temannya. Angga, Rudi dan Karim sedang membicarakan Nenek Ratih.
“Aku takut pada Nenek Ratih,” kata Angga.
“Aku juga. Bokongku pernah dipukul Nek Ratih. Sakit Sekali!” ujar Karim.
Rudi menambahkan, “Kamu belum seberapa, Rim. Aku dua kali diguyur nenek sihir itu.”
“Pura-puranya saja dia berjualan jamu. Aku yakin Nenek Ratih itu penyihir jahat!” seru Angga.
“Ah, pokoknya aku tak mau lagi bermain di dekat warung jamunya. Kata orang, dia ‘kan suka menculik anak kecil,” sambung Karim.
Malvin pun bergegas pulang. Ia berharap tak bertemu Nenek Ratih di jalan. Apalagi matahari sudah mulai terbenam. “Jangan-jangan perkataan teman-temanku benar. Nenek Ratih akan berubah menjadi nenek sihir di malam hari,” pikir Malvin.
Suatu hari, ada mata pelajaran olahraga. Kelas Malvin bermain sepak bola. Malvin mendapat giliran membawa bola. Saat pulang sekolah, ia ingin sekali pulang bersama Angga, Rudi dan Karim. Tetapi ketiga temannya itu sudah pulang lebih dahulu. Terpaksa Malvin pulang sendiri.
Sepanjang jalan pulang, Malvin menggiring bola tendangnya. Ia terlihat sangat gagah. Namun, perasaan takut tiba-tiba muncul. Lagi-lagi ia harus melintasi rumah Nenek Ratih. Kaki Malvin gemetaran. Ia tidak ingin berpapasan dengan nenek sihir itu.
Malvin sedang sial. Kakinya tersandung polisi tidur. Bolanya menggelinding kencang dan… suuiiiiit… Bola itu meluncur ke warung jamu Nenek Ratih! Nenek sihir yang suka memarahi anak kecil! Nenek sihir yang ditakuti anak-anak…
Malvin tak berani mengambil bolanya. Tetapi, ia juga tak ingin bolanya diambil nenek sihir itu. Maka, ia mengawasi rumah Nenek Ratih dari teras rumahnya sendiri, hingga sore hari.
Tiba-tiba turun hujan. Malvin cepat-cepat masuk ke halaman rumahnya. Dari balik jendela ia mengamati orang-orang sibuk mengangkat jemuran. Akan tetapi Nenek Ratih tidak keluar. Kini jemurannya basah diguyur hujan. Malvin kasihan. Ia cepat-cepat keluar untuk mengangkat jemuran Nenek Ratih.
“Nenek! Nenek! Hujan!” seru Malvin.
Tak lama, muncullah Nenek Ratih. Langkahnya terseret. Napasnya terengah-engah. Malvin merasa ngeri sekali. Namun…
“Oh! Terima kasih, Cucu. Nenek tertidur tadi,” kata Nenek Ratih.
“I… Iya, Nek.”
Nenek Ratih kemudian masuk ke dalam warungnya. Ia kembali dengan membawa bola milik Malvin.
“Ini bola kamu, Cu?” Malvin mengangguk. Kemudian Nenek Ratih memberikan bola itu. “Nenek kira bola ini milik anak-anak nakal itu!”
“Anak-anak nakal? Siapa, Nek? Tanya Malvin.
“Itu, teman-teman bermain kamu,” jelas Nenek Ratih.
“Maksud nenek, Angga, Rudi dan Karim?” Tanya Malvin lagi.
“Benar. Mereka sering memecahkan pot bunga kesayangan Nenek,” ujar Nenek Ratih.
Malvin benar-benar tak menyangka. Angga, Rudi dan Karim telah mengganggu Nenek Ratih.
“Nenek kira, semua anak di sini nakal. Ternyata kamu tidak. Nama kamu siapa?”
“Malvin, Nek.”
“Ya. Malvin. Ini untukmu. Sebagai tanda terima kasih Nenek.”
Wow! Nenek Ratih memberikan beberapa permen cokelat. Ternyata Nenek Ratih tidak jahat. Teman-teman Malvinlah yang sering berbuat nakal sehingga membuat Nenek Ratih jengkel dan kesal.
Lega rasanya hati Malvin mengetahui hal itu. Mmm, tentu saja ia akan membagikan permen cokelat itu kepada Angga, Rudi dan Karim. Agar mereka juga tahu betapa baiknya Nenek Ratih.

Kamis, 16 Desember 2010

Jacko, Gajah Kecil yang Ingin Tahu

                Dahulu kala, gajah di muka bumi ini tidak memiliki belalai. Bentuk hidungnya memang agak panjang dan bisa digerakkan ke kiri ke kanan. Namun tidak dapat digunakan untuk mengambil sesuatu.
Jacko, seekor gajah kecil, selalu sangat ingin tahu tentang apa yang dilihat, didengar, dirasa, dicium atau dirabanya. Pernah ia bertanya pada Paman Jerapah mengapa kulitnya berbintik-bintik. Tentu saja jerapah marah dan menendang pantat Jacko keras-keras.
Keesokan harinya, ia menghampiri singa dan bertanya, “Paman Singa, kenapa buah melon rasanya segaaar sekali?” Singa menjadi kesal, dan memukul Jacko kuat-kuat dengan cakarnya yang tajam.
Kali ini Jacko menjumpai Bibi Kuda Nil dan menanyakan mengapa matanya merah. Kuda Nil langsung memarahi Jacko, “Itu bukan urusanmu, anak cerewet! Pergi dari dini!”
Anehnya si Jacko tidak pernah jera untuk bertanya. Suatu hari, ia sibuk mencari tahu pada setiap binatang yang ditemuinya tentang apa yang disantap buaya saat makan malam. “Husss… usil amat sih kamu!” jawab mereka marah.
Di tengah hutan yang lebat, Jacko bertemu dengan burung Kolokolo. Ia lalu mengadu, “Ayah dan Ibuku memarahiku. Semua paman dan bibiku marah karena keingintahuanku. Tapi aku masih penasaran dan ingin tahu apa yang disantap buaya di malam hari!”
Dengan sabar burung Kolokolo berkata, “Pergilah ke tepi sungai Limpopo dan temuilah buaya di sana!”
Maka pergilah Jacko menuju sungai Limpopo. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat buaya. Namun tekadnya sudah bulat untuk bertanya langsung pada buaya.
Sesampainya di tepi sungai, ia melihat sebatang kayu terapung. Namun ia agak heran saat melihat batang kayu itu mengedipkan sebelah matanya.
“Selamat siang,” sapa Jacko sopan sekali. “Apakah Paman mengenal buaya yang tinggal di sungai Limpopo ini?”
Sambil mengedipkan mata, buaya menjawab dengan marah, ”Kemarilah gajah kecil. Akulah buaya itu!”
Jacko sangat gembira dan berkata, “Oh… pamanlah yang selama ini kucari-cari. Maaf Paman, tolonglah katakanlah padaku. Apa yang Paman santap saat makan malam?”
“Mendekatlah anak manis,” sahut buaya. “Akan kubisikkan padamu.”
Jacko mendekatkan kepalanya, dan dalam sekejap taring-taring buaya sudah menancap di hidung Jacko. “Kupikir, hari ini aku akan menyantap anak gajah,” geram buaya dengan kedua rahang penuh taring mencengkeram.

“Lepaskan aku buaya jahat!” teriak Jacko. Ia lalu berusaha manarik hidungnya sekuat tenaga. Namun buaya pun tak mau kalah. Ia pun menarik dan terus menarik hidung Jacko. Setiap tarikan, hidung Jacko bertambah panjang. Namun akhirnya si gajah kecil yang pemberani itu berhasil menarik kuat-kuat hidungnya sehingga terlepas dari cengkeraman buaya.
Lalu Jacko membungkus hidungnya yang telah memanjang itu dengan daun pisang dan mendinginkannya dengan air. Selama tiga hari tiga malam ia berharap hidungnya dapat kembali seperti semula. Namun tidak berhasil. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
Ketika bertemu seluruh keluarga dan sahabatnya, mereka terkejut dan bertanya, “Hai, Jacko, kau apakan hidungmu?” Dengan tenang Jacko menjawab,
“Aku diberi hidung baru oleh Paman Buaya dari Sungai Limpopo. Aku bertanya padanya apa yang disantapnya saat makan malam dan dia menghadiahiku hidung ini.”
“Ikh, jelek sekali!” ejek Paman Singa.
“Memang,” sahut Jacko. “Tapi benar –benar sangat berguna!” Lalu ia memetik buah-buahan di pohon. Selama ini Jacko memang hanya bisa menikmati buah yang sudah jatuh ke tanah. Jacko juga memamerkan kepandaiannya mandi dengan menyemprotkan air dari belalainya. Hmmm, satu lagi. Jacko juga menunjukkan cara menggunakan belalainya untuk menampar musuh saat membela diri.
Seluruh keluarga gajah amat kagum akan kegunaan belalai Jacko yang penjang. Akhirnya satu persatu keluarga gajah bergegas menuju sungai Limpopo. Mereka pun ingin “meminta hidung baru” pada buaya.
Sejak saat itu, semua gajah memiliki belalai panjang persis seperti belalai Jacko.

Leontin Lusi

                Lusi mempunyai sebuah leontin. Itu pemberian seorang nenek yang pernah ditolongnya. Nenek itu terjatuh ke sungai ketika jembatan di atas sungai patah. Untunglah Lusi ada di situ. Ia melompat ke dalam sungai untuk menolong si Nenek. Sebagai hadiah, Nenek memberikannya leontin itu
 “Kalau kau menaruh foto seseorang di dalam leontin ini, maka nasib orang itu akan selalu sial,” kata Nenek itu sebelum pergi.
Tentu saja Lusi tidak pernah memasukkan foto siapapun ke dalam leontin itu. Ia tidak ingin menyakiti siapapun. Leontin itu ia simpan di laci meja riasnya.
Suatu hari, Ruth adiknya melihat leontin itu. Ruth suka sekali berdandan. Ia lalu meminjam leontin itu saat mereka akan pergi ke pasar.
“Kak Lus, aku pinjam leontinmu, ya? Aku pakai ke pasar ya?” ujar Ruth. Lusi mengangguk mengijinkan.
Setiba di pasar, Lusi sibuk berbelanja sesuai daftar belanja dari ibunya. Hari itu, ibu Lusi sibuk harus menengok Nenek yang sakit. Itu sebabnya Lusi mendapat tugas belanja. Ruth berjalan-jalan melihat berbagai dagangan di pasar.
Beberapa saat kemudian, Ruth muncul di dekat Lusi dengan wajah riang.
“Kak, Kak, lihat! Aku menukar leontin tua kakak dengan dua leontin baru ini. Nih, satu buat Kakak, satu buat aku!” kata Ruth gembira.
Lusi memperhatikan kedua leontin itu dengan mata melotot terkejut.
“Astaga Ruth… kamu ditipu! Leontinku terbuat dari perak asli dan ukirannya antik. Leontin ini cuma imitasi murahan. Kamu dapat di mana ini?”
“Aduuh… maaf, Kak! Itu… aku menukar leontin itu di penjual barang antik…” kata Ruth penuh penyesalan.
Lusi dan Ruth segera mendatangi warung si penjual barang antik. Berbagai macam jualannya berjejer di atas meja. Di tenda warung itu tertulis, “BARANG ANTIK ASLI KOLEKSI PAK DOLMI”
Pak Dolmi adalah pria berhidung bengkok, bermata licik. Ia menolak saat Lusi meminta untuk menukar kembali dua leontin itu dengan leontin miliknya.
“Yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan!” kata Pak Dolmi sinis.
Ruth menangis meraung-raung karena menyesal. Ia tidak mau pulang walau Lusi berusaha membujuknya.
Pak Dolmi memberikan leontin itu pada istrinya.
“Hahaha, pasti kamu habis menipu orang. Aku taruh foto kita berdua ya, di sini,” kata Bu Dolmi yang juga sama liciknya. Ia lalu memasang foto, ia bersama suaminya di dalam leontin itu.
Tak lama kemudian, dating beberapa pembeli ke warung itu.
“Vas bunga ini asli buatan Italia. Lihat, ada tulisannya ‘Made in Italy’” kata Pak Dolmi. Sementara itu, Bu Dolmi melayani pembeli yang ingin membeli payung antik bertuliskan Jepang.
Saat Bu Dolmi menarik payung dari tempatnya, ujung payung menyodok atap tenda. Sisa air hujan yang tertampung di atas tenda, tumpah mengguyur Pak Dolmi yang sedang memegang vas tadi. Tulisan ‘Made In Italy’ di vas itu langsung luntur.
“Penipu! Vas itu cuma keramik biasa!” marah bapak yang ingin membeli vas. Ibu pembeli payung juga ikut-ikutan marah dan tidak jadi membeli.
“Cepat keringkan dirimu, Dolmi! Biar aku yang jaga warung!” omel Bu Dolmi. Namun mereka terkejut saat melihat seekor kucing di belakang mereka.
“Bu, kucing itu memakan ikan belanjaanmu!” teriak Pak Dolmi panik.
Bu Dolmi sangat marah. Ia meraih salah satu vas bunga di meja jualannya. “Kucing pencuri! Rasakan ini!” marah Bu Dolmi sambil mengangkat vas itu tinggi-tinggi.
“Jangaaan…” teriak Pak Dolmi panik. Namun terlambat. PRAAANGG…
Vas bunga itu melayang dan jatuh pecah di lantai. Kucing itu lari ketakutan. Bu Dolmi tertawa girang. “Hahaha… aku menakut-nakuti kucing itu dengan vas palsu.
Pak Dolmi hamper pingsan karena lemas. “Palsu? Oooh… vas itu asli, Bu. Itu satu-satunya vas asli buatan Italia di warung kita ini!”
Saat itu seorang nenek datang membawa koin. “Tadi pagi saya membeli teko. Ibu member koin ini sebagai kembalian. Apa ibu tidak salah member kembalian?” kata Nenek itu.
“Itu kan koin uang asing. Mana mungkin saya kasih kembalian pakai uang asing. Memang saya penipu!” omel Bu Dolmi yang masih jengkel.
“Ooh, kalau ini bukan koin-mu, ya tidak apa-apa. Tapi kata cucu saya, koin ini antik dan harganya mahal sekali. Ya sudah. Saya akan simpan saja koin ini,” kata Nenek itu lalu pergi.
Bu Dolmi sangat kaget. Ia menangis kesal karena sangat teledor.
“Tenang saja, Bu. Tuh lihat, ada anak kecil. Kita akan mendapat keuntungan darinya,” bisik Pak Dolmi.
Seorang anak perempuan memakai gelang emas, datang ke warung mereka. “Nak, ayo tukar gelangmu itu dengan lima gelang yang bagus-bagus,” bujuk Pak Dolmi, sambil memamerkan gelang imitasi yang berkilau. Anak perempuan itu sangat gembira. Ia segera melepas gelang emasnya.
Lusi masih ada di situ dan melihat kejadian itu. Ia langsung berteriak, “Jangan, jangan berikan gelang emasmu! Dia penipu!”
Saat itu, datanglah seorang bapak berseragam polisi. Ia tampak marah dan merebut gelang emas yang diberikan anak perempuan tadi.
“Berani-beraninya kamu menipu anakku! Ayo, ikut aku ke kantor polisi!”
Akhirnya Pak Dolmi dan Bu Dolmi dibawa ke kantor polisi. Lusi mendapatkan kembali leontin peraknya. Ia tidak melepas foto Pak Dolmi dan Bu Dolmi. “Biar saja untuk sementara foto mereka tetap di dalam leontin ini. Semoga mereka selalu tidak beruntung dalam menipu orang.”

Ular Naga Panjangnya

                Pak Rudolf adalah bangsawan kaya yang tinggal di sebuah rumah besar. Ia dan istrinya mempunyai seorang anak perempuan bernama Rosa. Selain mempunyai banyak pelayan, mereka juga mempunyai pelayan kecil bernama Emili.
                Sebelum menjadi pelayan di rumah itu, Emili tinggal dip anti asuhan. Ketika Bu Rudolf mencari pelayan kecil dip anti asuhan itu, Emili langsung menawarkan diri. Ia tidak peduli walaupun harus bekerja keras di rumah Bu Rudolf. Ia hanya ingin keluar dari panti asuhan yang kumuh, lembab, dan makanannya sama sekali tidak enak.
Mula-mula Emili Gembira tinggal di rumah besar Pak Rudolf. Ia mendapat pakaian hangat, kamar yang tidak lembab, dan makanan enak. Akan tetapi, lama-kelamaan Emili mulai tidak betah. Lorna si juru masak sangat galak padanya. Karena gugup, Emili jadi sering memecahkan piring.
Pagi ini, Emili bekerja di ruang keluarga. Ia membersihkan semua perabot dan pigura-pigura di dinding.
“Emili, hati-hati membersihkan kaca pigura itu!” kata Bu Rita, kepala pelayan di rumah itu. “Ibu dari Pak Rudolf bertahun-tahun membuat sulaman lukisan itu. Jangan sampai pecah kacanya!”
Emili menunduk gugup. “Saya akan lebih berhati-hati Bu Rita. Maaf, kemarin saya tidak sengaja memecahkan piring lagi,” ujarnya pelan.
Emili mulai mengelap debu lagi di permukaan kaca pigura sulaman lukisan. Matanya menatap lekat sulaman gambar enam anak di taman itu. Perlahan tangannya lalu berhenti mengelap debu.
“Lukisan ini… sangat indah ya, Bu Rita. Lihat… pasti judulnya Bermain Ular Naga,” kata Emili kagum.
“Emili, apa kamu tidak baca tulisan di bawah lukisan itu?” Tanya Bu Rita.
“Maaf, Bu Rita… saya… saya memang belum bisa membaca. Sebetulnya… baru saja tiga bulan saya sekolah. Tapi… saya sangat ingin keluar dari panti asuhan itu. Makanya, waktu Bu Rudolf mencari pembantu kecil, saya langsung menawarkan diri,” Emili menerangkan.
Bu Rita adalah kepala pelayan yang tegas dan agak galak. Namun mendengar cerita Emili itu, hatinya terharu juga.
“Kamu memang anak yang rajin, Emili. Nah, sekarang coba lihat tulisan di bawah sulaman lukisan ini. Bunyinya begini, ‘Taman Bunga yang indah’. Coba kamu lihat! Anak-anak ini tampak gembira karena bisa bermain di taman ini,” Bu Rita menerangkan dengan lembut.
“Waaah, pasti asyik bermain sepanjang hari di taman seindah ini!” seru Emili.
“Memang asyik,” jawab Bu Rita sambil tersenyum. “Tapi kalau kamu begitu, pasti tidak akan diberi makanan, pakaian, dan tempat tinggal!”
Emili mengangguk dan segera menggantung kembali lukisan itu. Ia lalu pergi ke dapur untuk membantu Lorna si juru masak.
“Jangan terlalu besar potongan sayurnya! Yang halus! Ini makanan untuk bangsawa! Bukan untuk orang miskin seperti kamu!” omel Lorna.
Hati Emili sangat sedih mendengar kata-kata kasar Lorna. Ia mulai tidak betah di rumah itu. Apalagi Nina, pengasuh nona Rosa, juga sering menyuruhnya dengan kasar.
“Cepat rapikan kamar nona Rosa! Dasar gadis yang tidak pernah sekolah! Jorok!” bentaknya. Padahal, Emili sebelumnya sudah merapikan kamar nona Rosa. Namun Nina sengaja mengacak-acaknya lagi agar Emili dimarahi Bu Rudolf.
Kalau sedang sedih, Emili termenung di depan sulaman lukisan itu. “Anak-anak ini kelihatan gembira bermain Ular Naga di taman. Ular Naga panjangnya… bukan kepalang…” Emili menyanyi di depan sulaman itu.
Bu Rita hanya menggelengkan kepala terharu melihat tingka Emili.
“Kasihan sekali, Emili. Dia masih terlalu muda untuk bekerja. Harusnya, dia bermain-main gembira di sore hari begini…” gumam Bu Rita.
“Hei, Emili! Kamu disini dibayar untuk kerja. Bukan untuk melamun. Cepat potong-potong sayuran di dapur!” bentak Lorna ketika melihat Emili melamun di depan lukisan. Emili buru-buru lari ke dapur. Bu Rita melihatnya dengan iba.
Malam harinya, Emili rindu untuk melihat sulaman lukisan itu lagi. Saat semua sudah tidur, Emili turun ke ruang keluarga membawa sebatang lilin. Ia mendekati sulaman lukisan itu dan menatapnya sambil tersenyum.
“Aaah, andai aku ada di situ bermain bersama kalian…” bisik Emili. Tiba-tiba ia mendengar suara samar-samar.
“Ayo main bersama kami, Emili! Ular naga panjangnya bukan kepalang…”
“Heei, suara siapa itu?” Tanya Emili bingung.
“Kami sedang bermain Ular Naga, Emili!” terdengar suara lagi. Tiba-tiba di sekeliling Emili tampak enam orang anak. Mereka menarik tangan Emili.
“Ayo, ayo, main! Ular naga panjangnya bukan kepalang…”
“Heei, suara siapa itu?” Tanya Emili bingung.
“Kami sedang bermain Ular Naga, Emili!” Terdengar suara lagi. Tiba-tiba di sekeliling Emili tampak enam orang anak. Mereka menarik tangan Emili.
“Ayo, ayo, main! Ular naga panjangnya…” Emili bermain dan bernyanyi bersama keenam temannya di taman yang indah itu. Ia sangat gembira.
Esok harinya, seisi rumah Pak Rudolf gempar.
“Emili tidak ada di kamarnya. Dia tidak ada di mana-mana!” seru Bu Rita. Mereka mencari Emili di setiap sudut rumah, tapi mereka tetap tidak menemukannya.
“Mungkin dia kabur dari rumah ini…” Lorna merasa agak bersalah.
Sementara itu, Pak Rudolf meneliti sulaman lukisan di pigura di dindingnya. “Aneh! Seingatku, ibuku menyulam enam anak di sulaman lukisan ini. Kenapa sekarang jadi jadi ada tujuh anak? Apa aku salah ingat? Atau… keenam anak ini mendapat teman baru?” Pak Rudolf bingung.

Rabu, 15 Desember 2010

Tino Mencari Ibu


                Tino si ulat senang sekali berkeliling. Ia berteduh di bawah pohon dekat danau. Ia melihat ibu angsa dan anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang gembira. Di atas pohon, tampak juga ibu merpati sedang bernyanyi ceria bersama anak-anaknya. Beberapa ikan juga sedang berenang kesana-kemari mengikuti induknya.
                “Kenapa semua punya ibu dan saudara? Kenapa aku cuma sendirian? Di mana Ibu dan saudara-saudaraku? Pasti senang kalau punya Ibu dan saudara-saudara,” pikir Tino dalam hati.
                Tino lalu mendekati Bu Kiki Kijang.
                “Apakah kau ibuku?” Tanya Tino.
                Bu Kiki Kijang menggeleng. “Tentu saja bukan,” katanya.
                Tino lalu mendekati Bu Cati Kucing.
“Apakah kau ibuku?” Bu Cati Kucing juga menggeleng. Tino berkeliling dan bertanya pada beberapa induk hewan yang ditemuinya. Namun mereka semua menggeleng. Tino akhirnya lelah dan beristirahat di sehelai daun pohon jambu yang gugur di tanah. Di situlah ia lahir beberapa hari lalu.
Tak lama kemudian, datanglah Bu Cici Kelinci mencari jambu-jambu yang berguguran untuk makan siang. Tino pun bertanya.
“Apakah kau ibuku?” Bu Cici kaget melihat Tino yang tiba-tiba muncul dari balik daun.
“Oh, bukan, aku bukan ibumu. Bentuk kita berbeda, kan?”
Tino sedih sekali mendengarnya. Bu Cici Kelinci berkata lagi, “Eeh, tapi sepertinya aku pernah melihat binatang sepertimu di dalam lubang di sebelah selatan sana.”
“Benarkah?” wajah Tino berubah cerah.
“Mari kuantar kau kesana. Siapa tahu keluargamu ada di sana.”
Tino lalu merayap naik ke punggung Bu Cici Kelinci. Beberapa saat kemudian mereka tiba di lubang itu. Tino mengucapkan terima kasih. Lalu merayap masuk ke dalam lubang yang ditunjuk Bu Cici Kelinci.
Di dalam lubang itu, ia bertemu dengan sepuluh hewan yang bentuknya sama dengannya. Cuma mereka jauh lebih panjang dan besar.
“Siapa kamu?” Tanya seekor hewan terpanjang sambil menjulurkan lidahnya.
“Aku Tino. Apa kau ibuku?” Tanya Tino.
“Tidak mungkin! Aku Cuma menetaskan 9 telur di sarangku ini. Lagipula kami tidak berbulu sepertimu. Kami bersisik. Kami keluarga ular.”
Tino sedih sekali. Ia merayap keluar dari lubang itu sambil meneteskan air mata. Tino kembali ke tempat Bu Cici Kelinci.
“Tenanglah Tino, mungkin ibumu sedang mencari makanan untukmu. Sabarlah dan tinggalah di rumahku. Aku akan berkeliling dan bertanya pada semua binatang di hutan ini, apakah mereka melihat ibumu,” bujuk Bu Cici.
Akhirnya Tino tinggal bersama Bu Cici Kelinci. Dengan gembira ia bermain bersama anak-anak Bu Cici.
Suatu hari, Tino menghilang. Anak-anak kelinci mencari kesana-kemari tapi tak menemukannya. Bu Cici pun ikut sedih. Ia bertanya pada semua binatang yang ditemuinya. Tapi tidak ada yang tahu di mana Tino berada.
Beberapa hari kemudian, ketika Bu Cici Kelinci sedang mencari jambu untuk makan siang, tiba-tiba ada yang menyapanya.
“Halo Bu Cici!”
Bu Cici kaget. Ia menengok ke kanan kiri, tapi tak ada seekor hewan pun. Tapi kemudian Ia melihat seekor kupu-kupu warna kuning terbang mengelilinginya.
“Siapa kamu? Apa kau tadi yang memanggilku?”
“Ya, aku yang memanggilmu Bu Cici. Ini aku, Tino.”
“Tino?” Bu Cici bingung. Tino hinggap di telinga Bu Cici dan bercerita.
“Bu, maafkan aku. Kemarin pergi tanpa pamit. Aku harus berpuasa dan menjadi kepompong. Aku baru tahu kalau aku bisa berubah menjadi kupu-kupu. Aku juga baru tahu kalau ibuku adalah seekor kupu-kupu.”
“Oh, syukurlah Tino, akhirnya kau tahu siapa ibumu. Tak disangka. Kau berubah menjadi kupu-kupu yang tampan.”
“Saya ingin berterima kasih karena Bu Cici sudah merawat saya beberapa hari ini. Sekarang saya harus bergabung dengan kupu-kupu lain. Selamat tinggal.”
“Ya, Tino, pergilah. Selamat jalan, ya!”
Akhirnya, Tino bergabung dengan gerombolan kupu-kupu. Ia sangat bahagia karena kini bisa berkumpul bersama saudara-saudaranya.

Tikus dan Burung Nasar

                Ada seorang tikus yang ingin mengembara dengan membawa sebuah buntalan. Sejak pagi, Tikus berjalan tanpa henti. Akhirnya, ia merasa lelah. Tikus itu memutuskan untuk beristirahat.
                “Sebaiknya aku duduk-duduk sebentar di bawah pohon. Lalu melanjutkan perjalananku, mendaki gunung yang tinggi itu,” gumamnya.
                Akan tetapi, angin bertiup semilir. Tikus yang hanya ingin beristirahat, akhirnya malah tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi. Ia melihat ibunya turun dari langit dengan memakai parasut.
                Pada saat yang sama, seekor burung nasar terbang rendah. Ia melihat Tikus yang tidur nyenyak itu. Ia mengira tikus sudah mati. Ia lalu mencengkram si Tikus dan membawanya terbang ke atas gunung. Sang Tikus tetap tertidur lelap.
                “Pik…pik…pik..” suara tangisan anak-anak burung Nasar membangunkan si Tikus. Ia sangat terkejut ketika tahu dirinya telah berada di dalam sarang burung nasar di puncak gunung yang tinggi. “Pik…pik…pik,” suara itu berisik sekali.
                Tiba-tiba, dari atas kepalanya terdengar suara besar, “Hei, kenapa kalian? Jangan menangis! Lihat! Ibu bawakan seekor tikus lezat untuk kalian!”
                Sang Tikus gemetar ketakutan. Namun anak-anak burung Nasar itu tetap menangis gaduh, “Pik…pik…pik”
                “Kenapa? Apa kalian tidak lapar? Ayo, jangan menangis! Aduh, berisik! Diamlah!” kata Induk Nasar. Tetapi, anak-anak burung Nasar itu tetap menangis. “Pik…pik…pik…,”
                Sang burung nasar akhirnya sadar, “Aaa! Tikus ini masih hidup, ya?!”
                Si Tikus gemetar ketakutan. “Hei, Tikus! Ayo pikirkan cara menghentikan tangis anak-anakku! Kalau kau berhasil, kau boleh pergi!” kata induk burung Nasar.
                Sang Tikus akhirnya mencoba bermacam-macam gaya dan gerakan untuk menghentikan tangisan anak-anak burung itu. Namun tangisan anak-anak burung itu tidak juga berhenti. Si Tikus kemudian berfikir, “Mungkin anak-anak ini sakit. Apa kau punya obat yang manjur?” Tanya Tikus pada induk Nasar.
                “Sakit? Obata pa yang manjur? Apa kau punya?” Tanya Nasar khawatir.
                “Wah, obat-obatan milikku ada di dalam buntalanku yang tertinggal di bawah sana!” kata Tikus.
                “Oh, baiklah, akan aku ambilkan!” kata induk burung Nasar sambil terbang.
                “Ya, sekarang saatnya!” si Tikus siap melarikan diri.
                Akan tetapi, induk burung Nasar itu terbang dengan cepat. Dalam sekejap ia sudah kembali membawa buntalan milik si Tikus. Tikus melompat masuk ke dalam celah yang ada di tebing. “Hei! Tunggu!” teriak burung Nasar.
                Induk burung mengejar dan berusaha masuk ke dalam celah tempat tikus bersembunyi. Kepala dan lehernya berhasil lolos, sementara badannya menggelepar di luar, terjepit di antara celah yang sempit. Karena badan Tikus itu kecil, ia bisa keluar dari celah yang lainnya.
                Apa yang terjadi? Melihat kejadian lucu itu, anak-anak burung Nasar tertawa terpingkal-pingkal. Tikus lalu mengeluarkan sekaleng cokelat dari buntalannya. Ia memberikan satu persatu kepada anak-anak burung Nasar sambil berkata, “Ini obatnya, silakan dimakan!”
                Akhirnya, sang induk berhasil mengeluarkan lehernya dari jepitan celah tebing. Ia terheran-heran melihat anak-anaknya sudah berhenti menangis dan sedang tertawa senang.
                “Maaf, ya! Saya sudah berbuat tidak baik padamu, Tikus!” katanya.
                Sang induk burung Nasar menaikkan si Tikus ke punggungnya dan membawanya terbang melawati gunung dan sungai-sungai. Lalu menurunkannya di sebuah kapal yang sedang berlayar. Kini, sang Tikus bisa mengembara tanpa harus lelah berjalan. Ia pun bisa tidur dengan nyenyak.

Pak Tikus Tersesat di Hutan

Pak Tikus menghirup udara kuat-kuat tiga kali. Ia mengerahkan kemampuan hidung kecilnya untuk mencium udara di luar bukit tempat tinggalnya.
                “Oh sayang sekali! Baunya seperti akan turun hujan, gumamnya.
                Pak Tikus tidak suka hujan. Kalau hujan, jaket bulu beludru miliknya jadi basah semua. Padahal jaket itu mahal harganya. Seluruh liang sarangnya juga akan jadi kotor. Penuh dengan jejak kaki berlumpur dari kakinya sendiri. Hujan akan membuat bukit tikusnya berhari-hari basah.
                Tak lama kemudian, langit jadi gelap, lalu titik-titik hujan mulai turun. Rintik-rintik hujan langsung menyegarkan daun-daun dipepohonan. Namun semua tanah menjadi berlumpur dan basah.
                Pak Tikus berharap hujan akan berhenti. Namun hujan lebat terus turun, merembes ke dalam liangnya. Air yang mengalir masuk ke sarangnya lalu membentuk sebuah sungai kecil. Lama-kelamaan sungai itu menjadi lebih besar. Airnya mengalir juga semakin deras. Tiba-tiba Pak Tikus terbawa air.
Pak Tikus sangat takut. Ia berusaha untuk tetap terapung. Air hujan telah membawanya menuruni padang rumput, masuk ke hutan. Aliran air itu akhirnya memutar-mutar tubuhnya sehingga ia pening dan sesak napas.
Pak Tikus akhirnya pingsan. Ketika sadar, ia telah berada di antara semak-semak. “Oh, Tuhan menolongku! Untung aku tidak mati tenggelam,” ujarnya sambil keluar dari antara semak.
Akan tetapi, Pak Tikus tidak tahu dimana ia berada sekarang berada. Seperti tikus-tikus lainnya, penglihatannya tidak bisa jauh. Ia betul-betul telah tersesat dan jauh dari rumah. Ia tidak dapat mencium bau-bauan yang biasa tercium olehnya. Semuanya jadi tambah buruk karena hari mulai gelap.
“Woo-oo-oo-oo!” tiba-tiba terdengar teriakan keras. Ketika Pak Tikus menengok, ternyata seekor burung hantu besar.
“Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan berani berada di sini,” kata Burung Hantu itu.
“Oh, seram sekali…” Pak Tikus bergidik takut. Ia lalu menceritakan perjalanannya terbawa arus air. Ia juga tidak tahu jalan untuk pulang.
“Kau harus bicara pada Polly Merpati. Dia seekor merpati yang bersarang di dekat padang rumput di dekat rumahmu. Ikutlah denganku. Tapi kau harus hati-hati pada ular, rubah, dan musang,” kata Burung Hantu.
Mereka kemudian berjalan melewati kegelapan hutan. Mereka berkali-kali mendengar geraman dan desisan yang mengerikan. Pak Tikus berusaha untuk tidak kehilangan jejak si Burung Hantu.
Setelah beberapa saat berjalan, Pak Tikus merasa sangat lelah. Untunglah Burung Hantu berhenti berhenti di sebuah pohon tua.
“Hallo-ooo,” panggil Burung Hantu.
Rupanya Polly Merpati sedang beristirahat di pohon itu. Ia baru saja akan melanjutkan perjalanan pulang.
“Saya takut, saya betul-betul tersesat. Akankah kamu bisa membawaku kembali ke padang rumputku?” Tanya Pak Tikus, setelah berkenalan dengan Polly Merpati.
Dengan senang hati si Polly Merpati bersedia mengantar Pak Tikus.
“Burung Hantu, terima kasih sudah mengantarku sampai di sini,” ujar Pak Tikus pada Burung Hantu.
Kini giliran Polly Merpati yang mengantar Pak Tikus. Mereka terus berjalan untuk kembali ke padang rumput. Saat matahari bersinar di langit pagi, Pak Tikus mencium aroma yang sangat dikenalnya. Padang rumput! Itu berarti ia hamper tiba di rumahnya. Pak Tikus tidak tersesat lagi.
Pak Tikus berterima kasih kepada si Polly Merpati. Ia lalu berlari menuju ke sarangnya. Liang bawah tanahnya itu masih basah dan berlumpur. Pak Tikus Lalu membangun beberapa terowongan baru yang lebih tinggi di padang rumput. Dengan begitu, hujan tidak akan menghanyutkan lagi.
Setelah sarang barunya selesai, Pak Tikus duduk menyantap cacing-cacing persediaan makanannya. Setelah itu, Ia pun tertidur nyenyak sekali.

Minggu, 12 Desember 2010

Ibuku Sakit

Hari ini Vita tak bersemangat untuk sekolah. Wajah manisnya tampak murung. Yuni, sahabat sekaligus teman sebangkunya jadi heran. Selama ini, selain rajin dan pintar, Vita juga dikenal sebagai murid yang riang di kelas. Apalagi sekarang hari Jumat, hari ini ada pelajaran olahraga kegemaran Vita.
                “Kamu sakit ya, Vit?” Yuni bertanya pada Vita saat jam istirahat.
                Vita tak menjawab. Ia hanya menggeleng lesu. Sesampainya di kantin pun, wajah Vita masih tetap murung. Ia termenung memandangi siomay Mang Ujang, jajanan favorit para siswa SD Palang Merah.
                “Hey, daripada siomaymu dimakan lalat, lebih baik berikan saja padaku ya…. Aaammm…” canda Yuni sambil pura-pura mengambil sepotong siomay Vita dengan garpu. Melihat tingkah Yuni yang lucu, Vita tersenyum.
                “Lumayan, biarpun sedikit, yang penting kamu sudah senyum,” Yuni menyeringai puas.
                “Vit, ada apa sih? Dari pagi sampai siang, kamu kok diam terus? Marah sama aku, ya?” Yuni bertanya-tanya dalam hati.
                “Maaf, ya, Yun, aku buat kamu bingung. Pulang sekolah nanti, aku ceritakan masalahku, deh,” kata Vita seperti mengerti isi pikiran Yuni.
                “Bener?” Yuni melonjak senang karena sahabatnya akhirnya mau bicara.
                Sekarang giliran Yuni yang gelisah. Ia penasaran. Pulang sekolah nanti, apa yang akan diceritakan Vita? Jangan-jangan dugaannya benar. Mungkin ada sikapnya yang membuat Vita marah atau tersinggung.
                “Ibuku sakit, Yun…” cerita Vita akhirnya, ketika bel sekolah berbunyi. Makanya sejak berangkat sekolah tadi, aku sudah tidak bersemangat. Kasihan ibuku sendirian di rumah. Ayah keluar kota. Pembantuku pulang kampung!” Vita buru-buru memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.
                “Aku khawatir… sebab tidak ada yang memasak untuk Ibu. Kalau ibuku lapar, bagaimana? Tadinya aku mau bolos saja, tapi ibu melarang,” Vita tampak menangis ketika melangkah ke arah gerbang sekolah.
                “Ssst… aku ngerti, Vit. Tapi kamu jangan nangis, dong. Malu tuh, dilihat Pak Satpam!” Yuni merangkul bahu sahabatnya.
                “Sekarang, kan, waktu makan siang, mungkin ibumu sudah lapar. Ayo, kita segera ke rumahmu. Di jalan, kita pikirkan mau masak apa,” kata Yuni tegas.
                Mereka pun bergegas keluar gerbang. Tak lupa tersenyum kepada Pak Satpam yang setia membuka gerbang sekolah mereka.
                Ketika melewati toko swalayan kecil di kompleks rumah Vita, Yuni menarik tangan Vita. “Ayo kita beli bahan makanan untuk ibumu,” ajak Yuni.
                Dengan cekatan Yuni mengambil sebungkus sosis, bumbu kaldu instan, dan bawang goreng.  “Memangnya kamu mau masak apa, Yun?” Tanya Vita heran. Yuni hanya tersenyum.
                Setiba di rumah Vita, mereka melihat Ibu Vita sedang berusaha memasak di dapur. Ibu Vita tampak lemah. Yuni bergegas memapah Ibu Vita ke kamar.
                “Tante tunggu sambil tiduran saja. Biar saya dan Vita yang membuat bubur,” Ujar Yuni ramah.
                Ia dan Vita lalu sibuk di dapur. Mereka mengiris-iris sosis lalu memasukkannya dalam bubur. Yuni lalu membubuhkan setengah sendok garam dan sedikit bumbu kaldu instan.
                Tak perlu menunggu lama… hmmm, harumnya bubur masakan Vita dan Yuni tercium dari arah dapur. Tidak kalah dengan bubur ayam yang mangkal di depan sekolah mereka.    
                Ibu Vita kini menikmati lezatnya bubur sosis buatan Vita dan Yuni. Kesedihan Vita segera hilang setelah melihat senyuman Ibu yang begitu cerah.
                “Kalian berdua anak hebat. Terima kasih, ya. Sekarang Ibu sudah kenyang dan harus minum obat,” ujar Ibu bangga.
                “… lalu istirahat,” sahut Vita dan Yuni bersamaan.
                “Tapi ngomong-ngomong, apa ibumu tidak mencari kamu, Yun? Tadi pulang sekolah, kamu langsung ke sini, kan? Ayo, cepat telepon Ibumu dulu!” kata Ibu Vita sambil menunjuk telepon di meja kamarnya.
                “Tidak usah khawatir, Tante, terima kasih. Sebelum ke sini, Yuni sudah SMS Ibu, kok,” ujar Yuni ramah sambil menunjukkan HP mungilnya di saku.
                Vita merangkul sahabatnya dengan terharu, “Untung saja aku punya sahabat baik kayak kamu, Yun. Tapi… aduh! Hidungmu jangan kembang kempis begitu, dong, ha ha ha…”
                “Dan kamu, makanya jangan cepat panik dan nangis. Belajar masak yang gampang-gampang, dong, buat keadaan darurat!” balas Yuni.
                Di sela tawa ceria mereka, Vita sempat berdoa dalam hati. Semoga Ibu cepat sembuh dan Tuhan membalas kebaikan hati Yuni, sahabat terbaiknya.