Sabtu, 29 Januari 2011

Status Facebook

“Ayo, Dit. Cepat matikan komputer. Ini sudah malam,” Ibu mengingatkan. “Walau libur, besok kamu tetap harus bangun pagi.”
“Sebentar, Bu. Odit cuma mau  update status, kok,” jawab Odit.
Sudah dua bulan ini, Odit keranjingan Facebook. Setiap ada kesempatan, ia memeriksa halaman Facebook-nya, mengupdate status, memberi komentar terhadap status teman-teman dan mengupload foto-foto.
“Masak, mau tidur aja perlu pemberitahuan ke seluruh teman-teman di FB?” goda Ibu.
“Bukan soal tidur, Bu. Odit nulis di status gini: Keren, bunga sakura lagi mekar dan sebagian sudah mulai rontok.”
Ibu mendekati Odit dan ikut membaca statusnya di halaman Facebook. “Mana bunga sakuranya?”
Odit hanya tertawa. “Ya... di Jepang sana.” Dua hari kemudian, Odit mendapat kesempatan untuk menggunakan internet. Dia terkejut melihat 27 komentar teman-temannya terhadap status terakhir yang ditulisnya. Sebagian teman-temannya menyatakan kekaguman karena Odit bisa berlibur ke Jepang. Lainnya berpesan agar Odit membawakan oleh-oleh dari Jepang.
“Hah? Oleh-oleh dari Jepang? Memang di sana ada apa selain bunga sakura, gunung Fuji, dan Doraemon?” pikir Odit. Pengetahuan Odit tentang Jepang hanya sedikit.
Odit pun menambah komentar di statusnya. Ia mengetik titik dua dan kurung tutup. Kedua tanda baca itu tampak sebagai ikon orang lagi tersenyum. “Ah, biar saja mereka berpikir aku lagi di Jepang,” pikir Odit. Matanya berkilat-kilat jenaka dan senyum lebarnya mengembang.
Odit membuka halaman Google dan mengetik beberapa kata di bagian pencarian. Ia membuka beberapa halaman situs dan akhirnya Odit menemukan foto Gunung Fuji yang masih ditutupi lapisan salju tebal. Gambar Gunung Fuji di upload ke halaman Facebook-nya. Di bagian teks gambar, Odit menambahkan kalimat G. Fuji memang keren. Gak ada matinya.
Baru dua menit ia meletakkan gambar Gunung Fuji, Reza, teman sekelasnya sudah menulis komentar. “Dit, kapan balik ke Jak?”
Odit tersenyum membaca komentar Reza. Buru-buru diketiknya komentar balasan. “Hai, Za. Apa kabar?” komentar Odit sama sekali tidak menjawab pertanyaan Reza. Sengaja.
Kemudian, datang lagi satu komentar baru. Kali ini komentar dari Surya. “Ngapain aja di sana?”
Berikut ada komentar dari Rahina, temannya di tempat kursus bahasa Inggris. “Udah kemana aja, Dit?”
Odit tergelak. Odit menulis balasan. “Banyak. Cerita lengkap menyusul.” Odit berkata jujur. Ia memang sudah mengunjungi banyak tempat, tetapi di Jakarta, bukan di Jepang.
“Dit…,” panggil Ibu.
Odit langsung mematikan komputer dan menghampiri Ibu.
“Tolong belikan Ibu kertas bungkus kado.”
“Berapa lembar, Bu?” Tanya Odit.
“Lima lembar. Pilihkan yang bergambar bunga.” Ibu menyerahkan selembar uang dua puluh ribu rupiah.
“Beres, Bu,” jawab Odit sambil tersenyum.
Baru saja beberapa langkah meninggalkan rumah, Odit melihat Ijul yang sedang bersepeda menuju ke arahnya. “Dit…,” sapa Ijul. “Kapan pulang, Dit?” Tanya Ijul sambil turun dari sepeda.
Odit tersenyum mendengar pertanyaan Ijul. “Pulang dari mana?”
“Di Facebook, kamu nulis lagi di Jepang,” jelas Ijul.
“Yee, aku nggak pernah tulis itu,” jawab Odit masih dengan senyum lebarnya. “Aku hanya tulis Gunung Fuji gak ada matinya.”
Ijul diam. Dia mengingat-ingat status yang Odit tulis dalam minggu ini. Tiba-tiba Ijul tertawa. “Hahahahaha… bener, Dit. Tetapi teman-teman mengira kamu lagi berlibur ke Jepang… hahahahaha…”
”Itulah. Makanya jangan terlalu cepat bikin kesimpulan, hahahaha,” kata Odit tertawa.

Minggu, 09 Januari 2011

Datu Parngongo

Dulu di tanah Batak ada seorang raja bernama Datu Parngongo. Dia sangat dicintai rakyatnya dan disegani teman-temannya.
Datu Parngongo mempunyai seorang anak laki-laki bernama Poda. Dia sangat saying kepada anaknya itu.
Suatu hari Poda menyampaikan keinginannya untuk menjadi raja. Karena rasa sayang kepada anaknya, Datu Parngongo memutuskan untuk mengabulkan permintaan itu. Dia pergi ke suatu tempat untuk menyepi. Hanya Marhati, pembantunya yang setia, yang tahu ke mana dia pergi.
Sepeninggal ayahnya, Poda mengangkat dirinya menjadi raja. Berbeda dengan Datu Parngongo, Poda memerintah dengan sewenang-wenang. Poda juga sering menyuruh tentaranya menjarah harta milik rakyat di negeri tetangga. Akibatnya Raja Losung, raja negeri itu menjadi marah. Dia memanggil raja-raja yang ada di sekitarnya untuk berunding. Lalu mereka sepakat untuk mengundang Poda datang ke negerinya untuk berjudi. Dengan senang hati Poda memenuhi undangan itu. Dibawanya tiga kantong emas untuk taruhan. Marhati juga diajaknya untuk menemani.
Acara diadakan di ruang balairung. Raja Losung mengeluarkan sekantung emas. Poda menuang sekantung uang emas di atas tumpukan emas itu, lalu dadu pun dilempar. Taruhan pertama Poda kalah. Juga pada taruhan yang kedua dan ketiga. Akhirnya Poda tidak mempunyai emas lagi untuk dipertaruhkan. Tetapi karena sombong, Poda tidak mau mundur dari pertaruhan.
“Ku pertaruhkan istana dan tanah pusaka milik kerajaan!” serunya.
Marhati terkejut mendengarnya. Dia menatap Poda dengan cemas. Tetapi anak itu kelihatan sudah tidak peduli dengan nasihat.
Seperti sudah diduga, Poda kalah dalam taruhannya yang terakhir. Kini dia tidak punya apa-apa lagi.
“Semua taruhanmu akan kukembalikan, asal kau sanggup menjawab dua pertanyaan yang akan kuajukan,” kata Raja Losung.
Raja Losung mengambil sebuah alu, alat untuk menumbuk padi.
“Ini pertanyaan pertama,” kata Raja Losung. “Coba kau tunjukkan mana ujung dan mana pangkal dari alu ini.”
Kemudian Raja Losung mengeluarkan sebuah kotak kecil.
“Ini pertanyaan kedua. Di dalam kotak ini ada sepasang semut. Coba tunjukkan mana semut jantan dan mana semut betina. Nah, kuberi waktu satu jam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu!” kata Raja Losung.
Lalu gong dipukul, sebagai tanda waktu mulai dihitung.
Poda mengamati kayu bulat dan sepasang semut itu, tetapi dia tidak bisa membedakannya. Marhati segera meninggalkan tempat itu menuju ke tempat Datu Parngongo menyepi. Diceritakannya kemelut yang sedang dihadapi Poda.
“Pergilah sebelum waktunya habis,” kata Datu Parngongo.
Marhati segera memacu kudanya kembali ke arena taruhan. Segera Marhati mendekati Poda.
“Bagaimana?” Tanya Raja Losung. “Apa jawabanmu?” kali ini wajah Poda tidak lagi cemas seperti sebelumnya. Dengan tenang dia maju ke depan. Diambilnya alu itu, dibawanya ke sungai yang mengalir di dekat istana. Pelan-pelan ditaruhnya alu itu ke dalam air.
“Yang tenggelam lebih dulu, itulah pangkalnya. Karena usianya lebih tua daripada ujungnya, maka dia akan lebih berat.” Sahutnya.
“Bagus!” seru Raja Losung. “Jawabanmu benar. Bagaimana dengan pertanyaan kedua!” seru Raja Losung mengatasi sorak-sorai penonton.
Poda mengambil kotak kecil itu. Kemudian dia minta dibawakan kuali berisi air. Ditaruhnya semut itu ke dalam kuali. Begitu menyentuh air, seekor semut berusaha berenang ke tepi untuk menyelamatkan diri. Sementara semut yang lain pelan-pelan tenggelam di dalam air.
“Semut yang berenang ke pinggir itu semut yang jantan. Karena dia lebih berani dan lebih kuat. Sedang yang tenggelam itu semut betina,” jawab Poda.
Wow! Semua yang hadir mendecak kagum. Mereka tidak menyangka Poda bisa menjawab pertanyaan yang sulit itu.
“Ternyata kau seorang anak muda yang cerdik,” kata Raja Losung kagum.
“Sebetulnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu,” sahut Poda terus terang. “Marhati yang membisikkan jawabannya kepadaku.”
“Bukan aku!” sahut Marhati dengan suara keras. “Tapi Datu Parngongo. Dia yang member tahukan jawabannya kepadaku.”
Poda menjadi malu dengan tingkah lakunya selama ini. Diajaknya Marhati menemui ayahnya.
“Ayah,” katanya. “Kembalilah ke istana. Sekarang aku sadar kalau aku belum bisa menjadi seorang pemimpin.”
Datu Parngongo menolak ajakan Poda untuk kembali ke istana.
“Ayah percaya, mulai saat ini kau akan menjadi pemimpin yang baik. Marhati akan mendampingimu sebagai penasihat,” kata Datu Parngongo sambil menepuk pundak Poda dengan sayang.
Sejak saat itu Poda berusaha menjadi seorang pemimpin yang baik. Sehingga akhirnya dia menjadi raja yang dicintai rakyatnya dan disegani raja-raja lain. 

Sabtu, 08 Januari 2011

Uji Keberanian

Uji Keberanian
Sepulang sekolah, Umar dan Yadi melewati Gedung Budaya. Rupanya ada pameran seni rupa. Di halaman gedung berdiri sekelompok patung tentara yang sedang melangkah dengan kaki kanan diayunkan ke depan. Masing-masing menggendong mayat. Patung-patung itu tampak hidup.
“Pandai sekali perupa ini!” puji Umar.
“Iya, kalau malam hari lewat sini dan orang tidak tahu ada pameran, pasti orang akan sangat terkejut!” kata Yadi sambil tersenyum penuh arti. “Nanti malam aku akan mengajak Pino dan Mul ke sini. Aku suruh mereka berjalan sendiri. Kalau tidak takut, aku akan traktir mereka mie rebus! Kamu ikut saja. Kita saksikan wajah mereka yang pucat dan lari terbirit-birit ketakutan!” Yadi menjelaskan idenya. Dalam hati Umar kurang setuju.
“Maaf, aku tak bisa. Nanti malam aku disuruh Ibu membayar uang arisan ke rumah Tante Eni!” Umar mengelak.
“Ya sudah, aku saja sendiri!” kata Yadi.
Malamnya, Mul dan Pino sudah berada di ujung jalan Gedung Budaya. Suasana jalan itu memang gelap karena tak ada penerangan lampu jalan dan sepi karena pada malam hari jarang dilalui orang dan kendaraan. Namun, di depan Gedung Budaya ada lampu.
“Ini namanya uji keberanian. Tugas kalian hanyalah jalan dari sini ke ujung jalan, lalu kembali lagi. Kalau berhasil, kalian akan kutraktir mie rebus!” kata Yadi. “Jalannya sendiri, bukan berdua!”
“Baik, aku duluan saja!” kata Mul. “Siapa takut?”
“Silakan,” kata Yadi. Hatinya berdebar-debar menantikan adegan lucu yang akan dilihatnya.
Mul melangkah maju. Yadi dan Pino menyaksikannya. Di depan Gedung Budaya tiba-tiba Mul berteriak.
“Tolooong… addaaa… maaa… maaa… yaaat!” Lalu Mul berlari sekencang-kencangnya ke tempat kedua kawannya berada.
Yadi tertawa terbahak-bahak. Wajah Mul pucat dan Pino tampak takut.
“Nah, Pino, sekarang giliranmu. Hadiah ditambah menjadi mie rebus dan segelas kopi susu!” kata Yadi.
“Kamu sendiri berani tidak?” tantang Mul. “Jangan-jangan kamu sendiri juga tidak berani!”
Dengan pongah Yadi menjawab, “Tentu saja aku berani. Aku akan berjalan dan kembali ke sini dengan tenang! Malah di depan gedung aku akan berhenti sejenak!” Yadi melangkah maju.
Di ujung jalan, Mul dan Pino menyaksikan dengan tegang. Yadi berjalan dengan gagah. Sesuai janjinya di depan Gedung Budaya ia berhenti sejenak.
Yadi menggosok-gosok matanya. Di antara para tentara ada sosok pendek sebaya dengan dirinya. Tapi wajahnya, kok, hitam seperti orang utan dan kedua tangannya menggapai-gapai. Sosok itu melangkah maju, semakin jelas kelihatan taringnya yang putih dan ia mengeluarkan bunyi gerrr… gerrr… gerrr.
Jantung Yadi berdegup keras dan tak ayal lagi ia berteriak,
“Hantuuu… hantuuu… hantuuu!”
Mendengar jeritan Yadi, Mul dan Pino lari. Yadi menyusul di belakangnya. Mereka terus berlari sampai di dekat gerobak tukang mie rebus.
“Ada apa?” Tanya tukang mie rebus.
“Ada hantu di depan Gedung Budaya!” Yadi menjelaskan.
“Oooh, di situ memang angker. Lagipula untuk apa kalian ke sana?”
Tukang mie rebus menanggapi, sekaligus bertanya.
“Maksudnya dia ingin menguji keberanian kami. Tidak tahunya dia sendiri juga lari ketakutan!” kata Mul. “Sudahlah, kita makan mie rebus saja, bayar sendiri-sendiri. Aku jadi lapar!”
Ketiga anak itu makan mie rebus. Mie baru saja dihidangkan ketika Umar dating membawa plastik besar.
“Kok, kamu ke sini? Katanya mau antar uang arisan!” Tanya Yadi.
“Iya, rumah Tante Eni, kan, tak begitu jauh dari sini. Sekalian saja aku ke sini. Mau lihat hasil uji keberanian kalian. Sekalian aku yang traktir kalian!” kata Umar.
“Terima kasih, Mar. Terima kasih,” kata anak-anak itu.
“Mar, kamu bawa apa, tuh?” Tanya Pino sambil menunjuk tas plastik hitam yang dibawa Umar.
“Hadiah dari Tante Eni. Dia beli untuk anaknya, tapi anaknya ternyata takut sama topeng ini!” kata Umar dan ia mengeluarkan topeng wajah monyet yang sedang menyeringai. Umar memandang Yadi penuh arti dan Yadi tersenyum kecut.

Uji Keberanian

Uji Keberanian
Sepulang sekolah, Umar dan Yadi melewati Gedung Budaya. Rupanya ada pameran seni rupa. Di halaman gedung berdiri sekelompok patung tentara yang sedang melangkah dengan kaki kanan diayunkan ke depan. Masing-masing menggendong mayat. Patung-patung itu tampak hidup.
“Pandai sekali perupa ini!” puji Umar.
“Iya, kalau malam hari lewat sini dan orang tidak tahu ada pameran, pasti orang akan sangat terkejut!” kata Yadi sambil tersenyum penuh arti. “Nanti malam aku akan mengajak Pino dan Mul ke sini. Aku suruh mereka berjalan sendiri. Kalau tidak takut, aku akan traktir mereka mie rebus! Kamu ikut saja. Kita saksikan wajah mereka yang pucat dan lari terbirit-birit ketakutan!” Yadi menjelaskan idenya. Dalam hati Umar kurang setuju.
“Maaf, aku tak bisa. Nanti malam aku disuruh Ibu membayar uang arisan ke rumah Tante Eni!” Umar mengelak.
“Ya sudah, aku saja sendiri!” kata Yadi.
Malamnya, Mul dan Pino sudah berada di ujung jalan Gedung Budaya. Suasana jalan itu memang gelap karena tak ada penerangan lampu jalan dan sepi karena pada malam hari jarang dilalui orang dan kendaraan. Namun, di depan Gedung Budaya ada lampu.
“Ini namanya uji keberanian. Tugas kalian hanyalah jalan dari sini ke ujung jalan, lalu kembali lagi. Kalau berhasil, kalian akan kutraktir mie rebus!” kata Yadi. “Jalannya sendiri, bukan berdua!”
“Baik, aku duluan saja!” kata Mul. “Siapa takut?”
“Silakan,” kata Yadi. Hatinya berdebar-debar menantikan adegan lucu yang akan dilihatnya.
Mul melangkah maju. Yadi dan Pino menyaksikannya. Di depan Gedung Budaya tiba-tiba Mul berteriak.
“Tolooong… addaaa… maaa… maaa… yaaat!” Lalu Mul berlari sekencang-kencangnya ke tempat kedua kawannya berada.
Yadi tertawa terbahak-bahak. Wajah Mul pucat dan Pino tampak takut.
“Nah, Pino, sekarang giliranmu. Hadiah ditambah menjadi mie rebus dan segelas kopi susu!” kata Yadi.
“Kamu sendiri berani tidak?” tantang Mul. “Jangan-jangan kamu sendiri juga tidak berani!”
Dengan pongah Yadi menjawab, “Tentu saja aku berani. Aku akan berjalan dan kembali ke sini dengan tenang! Malah di depan gedung aku akan berhenti sejenak!” Yadi melangkah maju.
Di ujung jalan, Mul dan Pino menyaksikan dengan tegang. Yadi berjalan dengan gagah. Sesuai janjinya di depan Gedung Budaya ia berhenti sejenak.
Yadi menggosok-gosok matanya. Di antara para tentara ada sosok pendek sebaya dengan dirinya. Tapi wajahnya, kok, hitam seperti orang utan dan kedua tangannya menggapai-gapai. Sosok itu melangkah maju, semakin jelas kelihatan taringnya yang putih dan ia mengeluarkan bunyi gerrr… gerrr… gerrr.
Jantung Yadi berdegup keras dan tak ayal lagi ia berteriak,
“Hantuuu… hantuuu… hantuuu!”
Mendengar jeritan Yadi, Mul dan Pino lari. Yadi menyusul di belakangnya. Mereka terus berlari sampai di dekat gerobak tukang mie rebus.
“Ada apa?” Tanya tukang mie rebus.
“Ada hantu di depan Gedung Budaya!” Yadi menjelaskan.
“Oooh, di situ memang angker. Lagipula untuk apa kalian ke sana?”
Tukang mie rebus menanggapi, sekaligus bertanya.
“Maksudnya dia ingin menguji keberanian kami. Tidak tahunya dia sendiri juga lari ketakutan!” kata Mul. “Sudahlah, kita makan mie rebus saja, bayar sendiri-sendiri. Aku jadi lapar!”
Ketiga anak itu makan mie rebus. Mie baru saja dihidangkan ketika Umar dating membawa plastik besar.
“Kok, kamu ke sini? Katanya mau antar uang arisan!” Tanya Yadi.
“Iya, rumah Tante Eni, kan, tak begitu jauh dari sini. Sekalian saja aku ke sini. Mau lihat hasil uji keberanian kalian. Sekalian aku yang traktir kalian!” kata Umar.
“Terima kasih, Mar. Terima kasih,” kata anak-anak itu.
“Mar, kamu bawa apa, tuh?” Tanya Pino sambil menunjuk tas plastik hitam yang dibawa Umar.
“Hadiah dari Tante Eni. Dia beli untuk anaknya, tapi anaknya ternyata takut sama topeng ini!” kata Umar dan ia mengeluarkan topeng wajah monyet yang sedang menyeringai. Umar memandang Yadi penuh arti dan Yadi tersenyum kecut.

Jumat, 07 Januari 2011

Salah Kostum

Musim salju datang. Dottie si tikus pergi membeli mantel baru ke toko.
“Pilihlah pakaian yang cocok untuk musim dingin, yang tebal dan nyaman,” saran Dora, sepupu Dottie.
“Tidak,” ejek Dottie. “Aku mau pilih mantel yang modis!”
Setelah lama mencari, akhirnya Dottie melihat mantel paling modis yang diidamkannya. Warnanya merah jambu dan berkancing banyak di bagian depan.
“Tolong bungkuskan mantel ini, ya,” kata Dottie pada penjaga toko.
“Kau mau mantel itu?” Tanya Dora. “Kayaknya kurang tebal bahannya.”
Namun Dottie mengabaikannya. Ia sibuk mencoba sepatu bot bertumit tinggi warna merah muda.
Malam itu cuaca sangat dingin. Salju mulai turun. Ketika Dottie dan Dora menatap keluar jendela rumah keesokan harinya, seluruh dunia tampak putih.
“Ayo cepat, Dottie!” teriak Dora. Ia telah memakai jaket dan sepatu bot yang hangat. Dora segera keluar rumah untuk bermain salju.
“Aku butuh waktu untuk mengancingkan mantelku!” tukas Dottie. “Aku juga mesti menalikan sepatu botku dulu!”
Setelah beberapa lama, akhirnya Dottie siap. Namun, ketika melangkah keluar dengan sepatu bot bertumit tingginya, ia jatuh tergelincir di salju.
Semakin lama cuaca semakin dingin dan basah. Tak lama kemudian, Dottie yang malang merasa membeku dalam mantelnya yang modis.
“Kau mesti cepat-cepat masuk ke rumah,” kata Dora sambil menggelengkan kepala. “Kau butuh pakaian yang hangat pada musim dingin seperti ini, bukan baju yang modis!”
“Kau benar!” Dottie mengiyakan ketika ia telah menghangatkan badan di depan perapian. “Besok kita berdua pergi berbelanja, ya. Kau bisa membantuku memilih pakaian yang cocok untuk musim dingin, Dora. Aku akan menyimpan mantel dan sepatu botku yang modis itu untuk musim semi nanti!”

Pantangan Peri Petai

Di sebuah desa di Negeri Verfera, hiduplah seorang bapak tua bernama Reneroo dengan anak gadisnya, Seyra. Mereka hidup miskin di gubug tua yang hampir roboh. Meskipun kekurangan, Seyra dan ayahnya sangat baik hati dan suka menolong.
Suatu hari, Seyra dan ayahnya pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan memanen pohon petai yang ada di kebun mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat agar hasilnya bisa secepatnya dijual ke kota.
Seusai membantu ayahnya, Seyra beristirahat di bawah pohon petai sambil menunggu ayahnya memanen petai. Ayah Seyra sangat senang karena sepertinya akan mendapat uang banyak dari hasil penjualan petai itu.
Karena lama menunggu ayahnya, akhirnya Seyra bermain-main sambil mengumpulkan petai yang berjatuhan. Ketika sedang mengumpulkan petai, tiba-tiba Seyra mendengar suara orang menangis.
“Ayah dengar suara orang menangis?” Tanya Seyra.
“Ya… Ayah dengar sayup-sayup,” jawab Ayah Seyra makin bingung.
Makin lama, suara tangis itu semakin jelas, Seyra dan ayahnya berusaha mencari asal suara itu. Suara itu sepertinya berasal dari petai yang berjatuhan.
“Tolooong… keluarkan aku dari sini!” teriak suara itu.
Seyra dan ayahnya terperanjat. Suara itu benar-benar berasal dari buah petai tadi.
“Siapa kau? Apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu?” Tanya Seyra.
“Tolong, aku adalah ulat petai yang ada di dalam petai ini. Bukalah buah petai ini satu persatu, keluarkan aku!” jerit Ulat Petai.
“Baiklah, tapi aku tidak tahu petai mana yang harus kubuka. Kalau aku buka semuanya, kami tidak dapat menjualnya ke kota. Petai kami tidak laku dijual bila sudah terkupas,” sahut Seyra bingung.
“Tolonglah, aku bisa mati bila terus berada di sini!” jerit Ulat Petai.
Akhirnya, Seyra dan ayahnya mengupas semua petai. Seyra belum juga menemukan ulat petai itu, hingga akhirnya tersisa satu petai. Dengan tegang mereka membuka petai terakhir dan ternyata Ulat Petai itu ada di sana.
Seyra dan ayahnya tersenyum bahagia karena dapat menolong Ulat Petai keluar. Ulat Petai pun sangat bahagia.
“Baiklah, sebagai tanda terima kasihku, aku ingin memberimu tangkai petai ini. Gunakan sesuai keperluanmu. Tangkai petai ini dapat menjadikan gambar apapun menjadi nyata seperti aslinya. Tapi ingat, sihir itu hanya berlaku sekali untuk satu macam benda dan sihir itu dapat hilang dalam sekejap jika kau dan ayahmu melanggar pantanganku,” jelas Ulat Petai.
“Apa pantangannya?” Tanya Ayah Seyra penasaran.
“Bila kau menyakiti hati orang, maka sihir itu akan hilang dalam sekejap,” jelas Ulat Petai.
“Baiklah. Terima kasih Ulat Petai, kami akan mengingat pesanmu,” janji Seyra dan ayahnya bersamaan.
Tiba-tiba, ulat petai itu membesar dan berubah menjadi peri cantik jelita. Dia pun terbang dan melambai pada Seyra dan ayahnya.
Sejak kejadian itu, hidup Seyra dan ayahnya berubah. Mereka selalu pergi ke kota untuk membeli buku-buku dan berbagai gambar indah, mewah dan modern. Mereka tidak lagi bersusah payah mencari dan menjual kayu bakar. Bila ingin sesuatu, mereka tinggal menyihirnya dan jadilah nyata.
Seyra dan ayahnya menjadi orang paling kaya di desa itu. Banyak orang meminta bantuan pada mereka, dan dengan senang hati Seyra dan ayahnya membantunya.
Hingga suatu hari, datanglah seorang wanita dengan pakaian lusuh ke rumah Seyra yang megah. Wanita itu ingin sekali bertemu dengan ayah Seyra.
“Izinkanlah aku bertemu ayahmu. Aku ingin meminta maaf,” pinta wanita itu.
“Maaf, ibu siapa?” Tanya Seyra ramah.
Belum sempat wanita itu menjawab, Ayah Seyra keluar dengan wajah murka.
“Mau apa kau kemari? Sudah puaskah kau menelantarkan kami? Sekarang, kau ingin mengemis maaf padaku! Maaf, semua sudah terlambat.” Sahut Ayah Seyra dengan kasar.
Wanita itu pun menangis dan akhirnya pergi. Belum sempat Seyra sadar dari kagetnya, tiba-tiba sesuatu telah berubah.
“Ya Tuhan, kemana rumah kita yang mewah?” jerit Ayah Seyra histeris. Seyra pun masih tercengang melihat perubahan yang terjadi dalam sekejap mata itu.
“Ayah, sepertinya kita telah melanggar pantangan Ulat Petai,” sahut Seyra dengan suara lemah.
Ayahnya menunduk lemas. Dia menyesal dengan semua yang telah dilakukannya.
“Ayah emosi, Ayah khilaf! Semua itu karena Ayah dendam padanya, Nak!” sahut Ayah terbata.
“Mari kita cari dia, Nak. Dia adalah ibumu. Kita minta maaf padanya. Ayah tak peduli kita hidup miskin lagi, asalkan keluarga kita bersatu kembali,” sahut Ayah Seyra menyesal.
Hari demi hari mereka mencari Ibu Seyra. Suatu hari mereka menemukan seorang wanita tengah tidur pulas di bawah pohon rindang. Ternyata wanita itu adalah Ibu Seyra yang mereka cari selama ini.
Ayah Seyra segera mengajak istrinya itu kembali dan menceritakan semua yang terjadi. Termasuk tentang harta mereka yang telah lenyap begitu saja. Tetapi dengan tulus, Ibu Seyra tidak menyesalkan hal itu. Sesungguhnya Ibu Seyra ingin minta maaf pada Ayah Seyra. Karena dulu ia telah meninggalkan Ayah Seyra karena Ayah Seyra miskin, tidak bisa memberi kemewahan padanya. Kini, Ibu Seyra ingin kembali ke rumah gubuk mereka yang mungil tapi berisi berjuta bahagia. Ayah, Ibu serta Seyra bekerja keras lagi untuk membangun hidup mereka dari awal. Dengan kebersamaan dan kerja keras akhirnya mereka berhasil membangun istana mungil yang cantik.

Kamis, 06 Januari 2011

Cirela dan Sepatu Bata

Cirela adalah anak bungsu dari empat bersaudar. Kakak-kakak Cirela bernama Cikuni, Cimera, dan Cibiru. Ketiga kakak Cirela tidak menyukai adik bungsu mereka. Mereka merasa Pak Gae dan Bu Gae, orang tua mereka, lebih sayang pada Cirela. Sebenarnya tidak demikian, Cirela sering sekali sakit. Itu sebabnya Pak Gae dan Bu Gae merasa perlu memberi perhatian lebih padanya.
Pak Gae adalah seorang ilmuwan. Pekerjaannya sehari-hari menciptakan segala macam alat yang unik. Ciptaan Pak Gae yang paling baru adalah sepatu serba guna. Pak Gae menciptakan sepatu itu untuk persiapan lomba lari tahunan di negerinya.
Hampir semua pria di kota itu mengikuti lomba lari tahunan. Itu bukan lomba sembarang lomba. Di sanalah segala macam sepatu canggih dipamerkan. Ada sepatu yang bisa memantul-mantul, bertenaga jet, dan segala macam sepatu penemuan baru yang aneh-aneh.
Pak Gae tak pernah ketinggalan mengikutsertakan ciptaannya. Sepatu ciptaannya selalu tampil lebih hebat dari ciptaan penemu lain. Setiap tahun semua orang penasaran, sepatu seperti apa lagi yang diciptakan Pak Gae?
Tahun ini Pak Gae telah bekerja lebih keras. Tahun lalu ia membuat tiga pasang sepatu. Namun tahun ini ia membuat empat pasang. Cirela anak bungsunya telah cukup umur untuk mengikuti lomba. Meskipun Cirela sakit-sakitan, Pak Gae memberinya semangat. Sepatu ciptaannya yang canggih bisa diandalkan untuk menutupi kelemahan Cirela.
Cikuni, Cibiru, dan Cimera tidak suka Cirela ikut lomba lari.
“Tidur saja sana, minta digendong Ibu!” bentak Cimera marah.
“Huh, apa kau kira ini seperti lomba minum susu?” ejek Cibiru.
“Hei, jangan jahat pada Cirela! Ayo kita ajak dia latihan!” Cikuni berlagak manis di depan Cirela.
Sebenarnya Cikuni punya rencana jahat. Ia telah mematikan fungsi canggih sepatu Cirela. Sepatu itu pun menjadi sepatu biasa. Cikuni juga memasukkan lempengan besi di dalamnya sehingga sepatu itu menjadi berat.
Mereka mengajak Cirela berlatih lari dengan sepatu baru. Cimera langsung memamerkan gaya berselancar di bebatuan. Cibiru bersalto tak kenal lelah. Cikuni bisa memanjat dinding seperti cicak. Akan tetapi Cirela cuma bisa terengah-engah mengangkat sepatunya. Ketiga kakaknya tertawa geli.
“Kenapa sepatuku berat sekali?” Tanya Cirela heran.
“Itu disebut sepatu bata. Sepatu pemula memang harus berat seperti batu bata,” jawab Cikuni.
Cirela percaya meskipun ketiga kakaknya tertawa semakin keras. Ia ingin seperti kakak-kakaknya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menggerakkan sepatunya. Tak putus asa ia melatih kakinya yang lemah.
Setiap hari Cirela ikut latihan lari bersama ketiga kakaknya. Setiap hari juga ia berlatih dengan sepatunya yang seberat batu bata. Melihat Cirela mulai terbiasa dengan sepatu itu, Cimera diam-diam menambah lempengan besi di sepatu adiknya. Sepatu Cirela menjadi semakin berat. Namun Cirela tetap giat berlatih, diiringi tawa ketiga kakaknya.
Hari perlombaan pun akhirnya tiba. Cirela masih tertatih-tatih dengan sepatunya. “Memalukan kalau Cirela ikut lomba!” sungut Cimera.
“Biar saja dia ikut. Biar Ayah tahu akibat memanjakan anak kesayangannya!” bisik Cikuni.
Pak Gae dan istrinya mengantar keempat anaknya.
“Lomba kali ini agak berbeda dengan tahun lalu. Hadiahnya juga jauh lebih besar dari lomba tahun lalu,” kata panitia lomba lewat pengeras suara. “Pemenang lomba tahun ini harus benar-benar pelari yang hebat! Untuk itu, panitia telah menyediakan sepatu yang sama untuk semua peserta.”
Semua peserta saling pandang heran. Dengan berat hati mereka mengganti sepatu canggih mereka dengan sepatu biasa yang disediakan panitia.
Lomba lari dimulai. Penonton agak kecewa karena tak jadi melihat atraksi sepatu-sepatu canggih. Namun mereka lalu ramai dan tertawa geli melihat gaya para peserta lomba. Ada yang berjingkat-jingkat, ada yang menangis kesakitan, ada yang terguling-guling. Lomba lari berubah menjadi sirkus lucu. Itu karena banyak pelari yang selama ini hanya mengandalkan kecanggihan sepatunya. Kaki-kaki mereka jadi tidak sehat dan rapuh.
Hanya Cirela yang berbeda! Ia telah terbiasa berlatih dengan sepatu seberat batu bata. Kini ia berlomba dengan sepatu biasa yang sangat ringan. Cirela berlari sangat kencang. Ia berhasil meninggalkan semua peserta lain. Para penonton mengelu-elukannya. Cirela sampai di garis finish sendirian.
“Hebat, hebat! Siapa yang melatihmu hingga kau hebat begini?” Tanya panitia lomba.
“Ketiga kakakku. Cikuni, Cimera dan Cibiru. Mereka melatihku menggunakan sepatu batu bata!” jawab Cirela.
Pak Gae dan istrinya menangis karena haru. Cikuni, Cimera, dan Cibiru malu sekali. Mereka telah berbuat jahat, namun Cirela malah menganggap mereka sebagai pelatih. Akhirnya mereka minta maaf dan berpelukan. Cikuni, Cimera, dan Cibiru berjanji akan berlatih lari seperti cara Cirela berlatih selama ini. Mereka juga akan memakai sepatu seberat batu bata. Sepatu canggih hanya mereka pakai untuk bermain-main.