Minggu, 12 Desember 2010

Di Saat Rintik Hujan


               Beni masih tergolek di tempat tidurnya. Hari itu sekolah libur. Makanya ia dapat bermalas-malasan. Matanya menatap kosong ke atas langit-langit kamar. Tiba-tiba saja beni teringat almarhumah mamanya. Semua kenangan indah terbesit di benaknya. Terbayang senyum manisnya, terasa belaian kasih sayangnya yang lembut. Mama sangat perhatian. Ah, kenapa kau begitu cepat pergi, padahal aku masih butuh kasih sayangmu.
                Beni menarik nafas dengan berat. Tidak terasa air matanya menetes dan jatuh di atas bantal. Ia menoleh kea rah foto Mama yang terletak di meja belajar. Ia tampak cerah dan berseri. Kenapa Mama harus diberi penyakit berat? Penyakit kanker otak itu telah menggerogoti dan mengambil nyawanya. Tapi itu semua kehendak Tuhan. Semoga saja Ia mendapat tempat di sisi-Nya. Beni buru-buru menghapus air matanya.
                Tok! Tok! Tok! “Beni, bangun sayang! Sudah siang!” terdengar pintu kamar diketuk. Suara Tante Marni menyuruhnya bangun. Tante Marni adalah mama barunya. Beni belum tahu bagaimana sifat-sifatnya. Parasnya memang cantik, tapi apakah hatinya juga cantik? Beni bahkan belum berani memanggilnya mama.
                “Beni bangun, kamu harus sarapan!” panggil Tante Marni lagi.
                “Ya, Beni dari tadi sudah bangun, kok,” sahut Beni. “Cerewet amat, sih!” desisnya.
                Setelah mandi, Beni bergegas menuju meja makan. Di sana sudah ada Papa dan Tante Marni.
                “Ayo, Beni, sarapan yang lahap, ya!” Tante Marni segera mengambilkan nasi untuk Beni. “Nih, ada ayam goreng kesukaanmu. Pasti enak dan gurih!” tambahnya lagi.
                Beni agak terkejut. Dari mana perempuan itu tahu tentang makanan kesukaannya.
                “Papa cerita, kalau kamu itu suka makan ayam goreng,” cerita Tante Marni.
                Beni tersipu karena isi hatinya tertebak.
                “Terima kasih, Tante.” Ucap Beni pelan.
                Papa tersenyum menatap Beni.
                “Beni, kamu harus belajar memanggil Mama, jangan Tante!” ujarnya.
                Beni menyimpan kembali suapannya.
                “Eh, biarlah, Pa, dipanggil Tante juga enggak apa-apa. Nanti juga pelan-pelan Beni akan memanggilku Mama. Jangan dipaksakan,” timpal tante Marni.
                Selesai sarapan, Beni kembali masuk ke kamar. Mulutnya bersungut-sungut. “Ukhh.. sok perhatian segala! Pasti Tante Marni ingin mendapat pujian dari Papa. Di mana-mana, yang namanya mama tiri semuanya sama. Kalau enggak galak, ya jahat!” Beni masih menyangsikan kasih sayang mama barunya.
                Sore harinya, Tante Marni mengajak Beni jalan-jalan. Kebetulan di lapangan ada pasar malam. Di sana bisa naik kincir angin, kuda-kudaan, kereta mini, dan banyak lagi.
                Beni pergi bersama Tante Marni diantar oleh Mang Ujang supir Papa.
                Sementara Mang Ujang menunggu di mobil, Tante Marni dan Beni berkeliling. Sore yang cerah. Para pengunjung memadati arena. Tangan Beni dipegang erat Tante Marni. Mereka berdesak-desakan.
                “Kamu mau naik kincir angin?” tawar Tante Marni
                Beni menggelengkan kepala.
                “Oh, Tante tahu. Kita ke sana, yuk!” Tante Marni menuntun Beni menuju ke stand pakaian. Di sana Beni dibelikan beberapa potong pakaian.
                Pada saat Tante Marni membayar pakaian itu, Beni tertarik dengan pesulap yang berada di pojok lapangan. Ia pergi tanpa pamit. Badannya yang kecil menyelinap di antara ratusan pengunjung. Cuaca cerah tiba-tiba mendadak mendung. Gerimis pun turun. Beni baru tersadar. Ia celingukan mencari Tante Marni. Dengan cemas ia berputar-putar mencari Beni. Sementara hujan turun bertambah deras. Hari mulai gelap.
                Beni mengusap air di wajahnya. Badannya mulai basah. Tiba-tiba dari belakang pundaknya ada yang menepuk. “Ben, Mama cari ke mana-mana. Ternyata kamu di sini!” tante Marni membuka jaketnya dan menjadikan penutup kepala Beni. “Kita lupa enggak bawa payung. Sekarang pulang saja, yuk!”
                Hati Beni bergetar. Sementara ia hangat oleh jaket, Tante Marni malah basah kuyup kehujanan.
                Esoknya, Tante Marni batuk-batuk dan demam. Beni merasa bersalah. Tiba-tiba saja dihatinya ada satu kekhawatiran. Ia tidak ingin lagi kehilangan orang yang menyayanginya.
                Dengan segelas teh hangat, Beni mengetuk pintu kamar Tante Marni.
                “Masuk!” suara dari dalam. Perlahan Beni mendorong pintu.
                “Beni!” seru Tante Marni.
                “Ma-maafkan, Beni, Ma! Minumlah teh hangat ini!” ucap Beni tertunduk.
                Mama Marni memeluk Beni bahagia, “Terima kasih, Beni!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar