Rabu, 29 Desember 2010

Misteri Hilangnya Mas Dafi

Senja tiba. Anak-anak yang bermain di luar sudah kembali ke rumah masing-masing. Kecuali Mas Dafi. Ibu mulai gelisah. “Tia tahu tidak, Mas Dafi ke mana?” tanyanya cemas. Aku menggeleng.
“Tadi sih, katanya mau pergi ke rumah Rian. Tapi itu sudah lima jam yang lalu, Bu.”
Ibu buru-buru membuka buku telepon dan menelpon ke rumah Rian. Setelah berbicara beberapa saat, wajah Ibu tampak bertambah cemas. Ditutupnya gagang telepon perlahan. “Sudah pulang dari tadi.” Ujarnya, “Kakakmu hanya meminjam novel Rian, lalu pergi.”
“Jangan-jangan Mas Dafi di culik!” celetukku bergurau, Ibu mendelik.
“Jangan bicara sembarangan Tia!” tegurnya. “Tia cuma bercanda, Bu. Tenang saja. Mas Dafi kan gampang lapar. Kalau lapar juga, dia pulang sendiri,” kataku lagi.
Hari mulai gelap. Mas Dafi belum juga tiba di rumah. Kecemasan Ibu telah bercampur kemarahan. Dibukanya pintu lebar-lebar, siap menyambut kepulangan Mas Dafi dengan jeweran di telinga. Bapak juga mulai menggerutu, “Anak itu bikin cemas orang tua saja!”
Ibu mulai menyusun daftar teman-teman Mas Dafi, dan menelponnya satu demi satu. Tetapi tidak ada yang tahu di mana ia berada. Diam-diam kecemasan Bapak dan Ibu menular padaku. Jangan-jangan Mas Dafi benar-benar diculik. Sebentar lagi aka nada telepon dari penculik yang berkata, “Selamat malam! Jangan khawatir, anak anda selamat jika anda menyiapkan satu milyar rupiah!” Ah! Itu sih keterlaluan. Mana mungkin Bapak dan Ibu punya uang sebanyak itu?”
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Hatiku sedih sekali. Betapa malangnya nasib Mas Dafi. Sedang apa dia sekarang ya?
“Kita telepon polisi saja, Pak.” Usul Ibu tiba-tiba.
“Ah Ibu, kita tunggu saja dulu. Kalau satu jam lagi dia tidak pulang, nanti Bapak yang cari,” kata Bapak.
Satu jam pun berlalu. Mas Dafi belum juga pulang. Ibu mulai terisak-isak. Aku semakin cemas. “Ibu jangan nangis dulu. Mas Dafi pasti pulang sebentar lagi,” rangkulku.
Bapak mengenakan sweaternya. Lalu menuju gudang untuk mengambil senter. Kreaaak… terdengar bunyi engsel pintu gudang yang dibuka Bapak. Tiba-tiba, terdengar teriakan Bapak. Aku dan Ibu berlari kaget menuju gudang. Astaga! Tampak Mas Dafi tidur telentang dengan buku menutupi wajahnya.
“Dafii!” teriak Ibu gemas sambil menjewer telinganya keras-keras. Kasihan Mas Dafi. Dia bangun dengan wajah bingung sambil berteriak-teriak kesakitan. Andai saja Mas Dafi tahu, kecemasan yang terjadi selama dia tertidur di gudang.

1 komentar: