Kamis, 16 Desember 2010

Ular Naga Panjangnya

                Pak Rudolf adalah bangsawan kaya yang tinggal di sebuah rumah besar. Ia dan istrinya mempunyai seorang anak perempuan bernama Rosa. Selain mempunyai banyak pelayan, mereka juga mempunyai pelayan kecil bernama Emili.
                Sebelum menjadi pelayan di rumah itu, Emili tinggal dip anti asuhan. Ketika Bu Rudolf mencari pelayan kecil dip anti asuhan itu, Emili langsung menawarkan diri. Ia tidak peduli walaupun harus bekerja keras di rumah Bu Rudolf. Ia hanya ingin keluar dari panti asuhan yang kumuh, lembab, dan makanannya sama sekali tidak enak.
Mula-mula Emili Gembira tinggal di rumah besar Pak Rudolf. Ia mendapat pakaian hangat, kamar yang tidak lembab, dan makanan enak. Akan tetapi, lama-kelamaan Emili mulai tidak betah. Lorna si juru masak sangat galak padanya. Karena gugup, Emili jadi sering memecahkan piring.
Pagi ini, Emili bekerja di ruang keluarga. Ia membersihkan semua perabot dan pigura-pigura di dinding.
“Emili, hati-hati membersihkan kaca pigura itu!” kata Bu Rita, kepala pelayan di rumah itu. “Ibu dari Pak Rudolf bertahun-tahun membuat sulaman lukisan itu. Jangan sampai pecah kacanya!”
Emili menunduk gugup. “Saya akan lebih berhati-hati Bu Rita. Maaf, kemarin saya tidak sengaja memecahkan piring lagi,” ujarnya pelan.
Emili mulai mengelap debu lagi di permukaan kaca pigura sulaman lukisan. Matanya menatap lekat sulaman gambar enam anak di taman itu. Perlahan tangannya lalu berhenti mengelap debu.
“Lukisan ini… sangat indah ya, Bu Rita. Lihat… pasti judulnya Bermain Ular Naga,” kata Emili kagum.
“Emili, apa kamu tidak baca tulisan di bawah lukisan itu?” Tanya Bu Rita.
“Maaf, Bu Rita… saya… saya memang belum bisa membaca. Sebetulnya… baru saja tiga bulan saya sekolah. Tapi… saya sangat ingin keluar dari panti asuhan itu. Makanya, waktu Bu Rudolf mencari pembantu kecil, saya langsung menawarkan diri,” Emili menerangkan.
Bu Rita adalah kepala pelayan yang tegas dan agak galak. Namun mendengar cerita Emili itu, hatinya terharu juga.
“Kamu memang anak yang rajin, Emili. Nah, sekarang coba lihat tulisan di bawah sulaman lukisan ini. Bunyinya begini, ‘Taman Bunga yang indah’. Coba kamu lihat! Anak-anak ini tampak gembira karena bisa bermain di taman ini,” Bu Rita menerangkan dengan lembut.
“Waaah, pasti asyik bermain sepanjang hari di taman seindah ini!” seru Emili.
“Memang asyik,” jawab Bu Rita sambil tersenyum. “Tapi kalau kamu begitu, pasti tidak akan diberi makanan, pakaian, dan tempat tinggal!”
Emili mengangguk dan segera menggantung kembali lukisan itu. Ia lalu pergi ke dapur untuk membantu Lorna si juru masak.
“Jangan terlalu besar potongan sayurnya! Yang halus! Ini makanan untuk bangsawa! Bukan untuk orang miskin seperti kamu!” omel Lorna.
Hati Emili sangat sedih mendengar kata-kata kasar Lorna. Ia mulai tidak betah di rumah itu. Apalagi Nina, pengasuh nona Rosa, juga sering menyuruhnya dengan kasar.
“Cepat rapikan kamar nona Rosa! Dasar gadis yang tidak pernah sekolah! Jorok!” bentaknya. Padahal, Emili sebelumnya sudah merapikan kamar nona Rosa. Namun Nina sengaja mengacak-acaknya lagi agar Emili dimarahi Bu Rudolf.
Kalau sedang sedih, Emili termenung di depan sulaman lukisan itu. “Anak-anak ini kelihatan gembira bermain Ular Naga di taman. Ular Naga panjangnya… bukan kepalang…” Emili menyanyi di depan sulaman itu.
Bu Rita hanya menggelengkan kepala terharu melihat tingka Emili.
“Kasihan sekali, Emili. Dia masih terlalu muda untuk bekerja. Harusnya, dia bermain-main gembira di sore hari begini…” gumam Bu Rita.
“Hei, Emili! Kamu disini dibayar untuk kerja. Bukan untuk melamun. Cepat potong-potong sayuran di dapur!” bentak Lorna ketika melihat Emili melamun di depan lukisan. Emili buru-buru lari ke dapur. Bu Rita melihatnya dengan iba.
Malam harinya, Emili rindu untuk melihat sulaman lukisan itu lagi. Saat semua sudah tidur, Emili turun ke ruang keluarga membawa sebatang lilin. Ia mendekati sulaman lukisan itu dan menatapnya sambil tersenyum.
“Aaah, andai aku ada di situ bermain bersama kalian…” bisik Emili. Tiba-tiba ia mendengar suara samar-samar.
“Ayo main bersama kami, Emili! Ular naga panjangnya bukan kepalang…”
“Heei, suara siapa itu?” Tanya Emili bingung.
“Kami sedang bermain Ular Naga, Emili!” terdengar suara lagi. Tiba-tiba di sekeliling Emili tampak enam orang anak. Mereka menarik tangan Emili.
“Ayo, ayo, main! Ular naga panjangnya bukan kepalang…”
“Heei, suara siapa itu?” Tanya Emili bingung.
“Kami sedang bermain Ular Naga, Emili!” Terdengar suara lagi. Tiba-tiba di sekeliling Emili tampak enam orang anak. Mereka menarik tangan Emili.
“Ayo, ayo, main! Ular naga panjangnya…” Emili bermain dan bernyanyi bersama keenam temannya di taman yang indah itu. Ia sangat gembira.
Esok harinya, seisi rumah Pak Rudolf gempar.
“Emili tidak ada di kamarnya. Dia tidak ada di mana-mana!” seru Bu Rita. Mereka mencari Emili di setiap sudut rumah, tapi mereka tetap tidak menemukannya.
“Mungkin dia kabur dari rumah ini…” Lorna merasa agak bersalah.
Sementara itu, Pak Rudolf meneliti sulaman lukisan di pigura di dindingnya. “Aneh! Seingatku, ibuku menyulam enam anak di sulaman lukisan ini. Kenapa sekarang jadi jadi ada tujuh anak? Apa aku salah ingat? Atau… keenam anak ini mendapat teman baru?” Pak Rudolf bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar