Rabu, 29 Desember 2010

Si Jahil Dijawil

Ema mengerutkan kening ketika tiba-tiba Nita menyodorkan sebuah bingkisan padanya pagi itu. “Eh, aku enggak ulang tahun, kok!” katanya heran.
“Memberi hadiah boleh kapan saja, kan? Tidak harus nunggu ulang tahun dulu,” sahut Nita yang tampak gelisah.
Ema jadi curiga. Benar saja, kotak itu ternyata berisi tikus! Untung ia tidak takut pada hewan kecil itu. Namun Ema berpura-pura menjerit ngeri. “Waaa… tikus!”
Nita yang berdiri di depannya ikut memekik panik. Teman-teman sampai ketakutan dan berhamburan keluar kelas. Nita juga mau melarikan diri, tapi Ema memegangi ujung seragamnya. “Tolong… bajuku dicapit tikus…” teriak Nita hilang akal. Tikus kan tidak punya capit!
Ema jadi bingung, kenapa Nita ikut-ikutan ketakutan. Padahal ‘kan hadiah itu dari dia. “Nita, kenapa kamu jadi jahil begini?” tegur Ema kemudian.
“A-aku…” Nita gelagapan. Ia pun bercerita kalau sebenarnya kado jahil itu bukan buatnya. Nita menemukannya di laci meja. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat hadiah iseng.
“Pasti ada anak yang menjahiliku,” ujarnya kesal.
“Lalu kenapa kamu berikan padaku?” protes Ema jengkel.
“Maaf,” sesal Nita. “Maksudku, mau minta bantuanmu untuk mencari tahu siapa pelakunya.”
Ema langsung tersenyum penuh arti. Ia merasa menjadi detektif yang baru saja mendapat kasus menarik. “Baiklah,” ucap Ema kemudian.
Esoknya, pagi-pagi sekali Ema sudah berada di sekolah. Ia mengintai dari balik kaca jendela di belakang kelas, menunggu si anak jahil beraksi.
“Ema?”
Ema hampir berteriak kaget karena ada yang menjawil pundaknya. Ternyata Pak Sarip, tukang kebun sekolah.
“Ada apa pagi-pagi begini sudah datang?” tanyanya sembari ikut melongok ke dalam kelas. Pak Sarip tidak sadar kalau jawilannya telah membuat Ema terkejut.
“Emm… nunggu teman, Pak,” ujar Ema setelah hilang kagetnya.
Dahi Pak Sarip berkerut. “Tapia pa kamu tidak kepagian? Jam masuk sekolah kan masih lama,” ucapnya heran.
“Ups… kepagian ya?” desis Ema malu. Pagi itu memang tidak ada anak yang bersikap mencurigakan.
Di hari berikutnya, Ema sudah merubah siasat. Ia menunggu anak yang pulang paling akhir. Kali ini Ema meminta Nita menemaninya. Benar dugaannya. Beberapa saat setelah kelas sepi, mereka melihat si pelaku jahil kembali beraksi. Raka! Anak itu sedang meletakkan cicak mati di kolong meja Nita.
“Grrr… akan kubalas perbuatan Raka padaku selama ini. Tunggu saja!” ancam Nita marah.
“Jangan!” cegah Ema. “Kalau kamu balas berbuat jahil, berarti kamu sama saja dengan Raka,” cegah Ema. “Lagipula, kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan juga, kapan masalahnya akan selesai? Apa kamu mau selamanya tidak tenang belajar?”
Nita menghela napas. “Lalu bagaimana, dong?
Ema meminta Nita bersabar. Ia akan mengawasi ulah Raka lebih lanjut. Ternyata, Raka juga menjahili teman-teman lain. Sudah banyak yang menjadi korban. Ema berusaha mencari cara untuk menyadarkan Raka. Tentu saja tanpa kekerasan.
“Kalau tidak boleh membalas dengan kekerasan, kita harus berbuat apa, dong?” Tanya Nita tidak sabar.
Ema menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba berpikir, “Ah Pak Sarip!” serunya tiba-tiba.
“Kita minta tolong Pak Sarip saja, untuk menegur Raka?” Tanya Nita.
“Bukan,” ralat Ema. Lalu ia membisikkan kebiasaan Pak Sarip saat menyapa anak-anak dari belakang.
Awalnya Nita tampak takut-takut. Namun Ema terus memberi semangat. Akhirnya Nita mau beraksi. Suatu siang, ia mengembalikan kado jahil dari Raka sambil menjawil lengan Raka. Lalu melangkah pergi tanpa bicara apa-apa.
“Eh!” Raka memekik kaget. “Apa-apaan ini?”
Nita mengkerut takut melihat Raka membelalak dan membentak galak.
Namun tiba-tiba beberapa teman melakukan hal yang sama seperti Nita. Mereka semua menjawil tubuh Raka. Ada yang menjawil tangannya, perut, telinganya… Raka sampai terdesak.
Rupanya Ema sudah minta pada semua temannya untuk membantu Nita menjawil Raka. Saat itu, Raka hanya bingung, tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi semua anak hanya menjawilnya tanpa bicara apapun.
Suatu hari, Raka berbuat jahil lagi. Semua anak dengan berani membalas dengan menjawil tubuh Raka. Bahkan mereka kelewat bersemangat sampai Raka kegelian dan kesakitan.
“Aduh…. Tolong hentikan!” pekik Raka kewalahan. “Ampun… ampun, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Aku akan berhenti berbuat jahil.”
“Benar?” seru seisi kelas kompak.
“Iya. Janji!” jawab Raka sambil mengangkat telapak tangan kanannya.
Ema tersenyum senang melihatnya. Jawilan ternyata bisa menghentikan kejahilan si Raka. Masalah selesai dengan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar